Kamis, 06 Agustus 2015

PENGANTAR PERPAJAKAN PPN DAN BPHTB

PPN & BPHTB
1. PPN
Perkembangan Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai Indonesia
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang lebih dikenal dengan nama UU Pajak Pertambahan Nilai 1984 merupakan salah satu produk referensi system perpajakan nasional (tax reform) 1983. Sebagai pengganti UU nomot 19 Tahun 1951 Drt.jo UU Nomor  35 Tahun 1953 entang pajak penjualan, UU PPN 1984 ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 1985.
Dalam kurun waktu 15 tahun sejak muali berlaku, Undang-undang ini mengalami dua kali perubahan. Perubahan yang pertama dilakukan dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 194 yang muali berlaku pada tanggal 1 januari 1995, sedangkan perubahan yang kedua dilakukan dengan Undang-Undang nomor 11 tahun 1994 yang muali berlaku pada tanggal 1 januari 1995, sedangkan perubahan yang kedua dilakukan dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 yang mulai berlaku sejak tanggal 1 januari 2001.
Adapun tujuan perubahan ini sebagaimana ditegaskan dalam konsideran filosofi UU Nomor 18 Tahun 2000 adalah:
a.       Lebih meningkatkan kepastian hokum dan keadilan
b.      Menciptakan siste perpajakan yang sederhana dengan tanpa mengabaikan pengawasan dan pengamanan penerimaan Negara.
Latarbelakang perubahan justru dijumai dalam memori penjelasan bagian umum yang menegaskan bahwa dalam era reformasi saat ini, perkembangan social ekonomi dan politik berlangsung sangat cepat sehingga perubahan sistem perpajakan yang pernah dilakukan belum dapat menampung perkembangan dunia usaha karena masih dijumpai kelemahan-kelemahan dalam Undang-undang perpajakan, yaitu:
a.       Belum adil walaupun sudah dilaksanakan sesuai ketentuan,
b.      Kurang memberikan hak-hak wajib pajak
c.       Kurang memberikan kemudahan kepada wajib pajak dalam melaksanakan kewajibannya,
d.      Kurang memberikan kepastian hukum serta kurang sederhana.
Meskipun UU no 8 Tahun 1983 telah diubah untuk yang kedua kalinya dengan UU Nomor 18 Tahun 2000, nama Undang-Undang ini tidak mengalami perubahan, Karena:
1)      Pasal 20 UU Nomor 8 Tahun 1983 yang berbunyi: “ Undang-undang ini dapat disebut dengan nama Undang-undang pajak Pertambahan Nilai 1984” tidak diubah, dan pasal 2 ayat (2) dan pasal 14 ayat (1) UU Nomor6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 16 Tahu 2000, menyebut UU Nomor 8 Tahun 1983 yang telah diubah ini “undang-undang Pajaka Pertambahan Nilai”
2)      Sesuai  dengan bunyi konsiderans UU nomor 11 Tahun 1994 dan UU Nomor 11 Tahun 1994 dan UU Nomor 18 Tahun 2000 bhwa pengundangan undang-undang ini di maksudkan untuk mengubah UU Nomor 8 Tahun 1983, jadi bukan untuk menggantikan kedudukannya.
3)      Pasal III UU Nomor 18 Tahun 2000 menentukan: “ Undang-undang ini dapat disebut Undang-Undang perubahan kedua Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984”. UU ini menyebut UU PPN dengan nama UU PPN 1984.
Berdasar tiga argumentasi yuridis dan filosofis tersebut, maka sejak 1 April 1985 sampai dengan saat ini dan seterusnya, yaitu setelah perubahan yang pertama dengan UU Nomor 11 Tahun 1994 dan perubahan yang kedua dengan UU Nomor 18 Tahun 2000, sebagai dasar hukum Pajak Pertambahan Nilai sejak 1 januari 2001 dapat dikemukakan sebagai berikut ;
a.       Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 yang tetap dinamakan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.
b.      Peraturan pmerintah Nomor 144 Tahun 2000 jo peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 tentang pelaksanaa UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang 18 Tahun 2000.
c.       Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang jenis Barang dan Jasa yang tidak dikenakan pajak.
d.      Peraturan pemrintah Nomor 145 Tahun 2000 jis Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2002 serta Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2003 tentang Kelompok Barang Kena pajak Yang Tergolong Mewah yang dikenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
e.       Peraturan pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 jo Peraturan PemerintahNomor 38 Tahun 2003 tentang Impor dan atau penyerahan Barang kena Pajak Tertentu dan atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
f.       Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 jis Peraturan pemerintah Nomor 43 tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2003 tentang Impor dan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2003 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dai pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
g.      Peraturan Pemerintah Nomor 63 tahun 2003 tentang Perlakuan PPN dan PPnBM dikawasan Berikat Daerah Industri Pulau Batam, sebagimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2005.
2.      Karakteristik pajak pertambahan nilai
a.       Pajak Pertambahan Nilai merupakan Pajak Tidak Langsung
Karakter ini memberikan suatu konsekuensi yuridis bahwa antara pemikul beban pajak (destinataris pajak) dengan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kas Negara berada pada pihak yang berbeda.Pemikul pajak ini secara nyata berkedudukan sebagai pembeli barang kena pajak atau penerima jasa kena pajak. Sedangkan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kas Negara adalah pengusaha kena pajak yang bertindak selaku penjual barang kena pajak atau pengusaha jasa kena pajak
b.      Pajak objektif
Yang dimaksud pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbunya kewajiban pajak ditentukan oleh factor objektif yaitu adanya taatbestand .adapun yang dimaksud taat bestand adalah keadaan, peristiwa atau perbuatan hokum yang dapat dikenakan pajak yang juga disebut dengan nama objek pajak. Sebagai pajak objektif, timbulnya kewajiban untuk membayar pajak pertambahan nilai ditentukan oleh adanya objek pajak.
3.      Tipe Pajak Pertambahan Nilai
a.       consumption Type VAT
dalam consumtion type value added tax semua pembelian yang digunaka untuk produksi termasuk pembelian barang modal dikurangkan dari penghitungan nilai tambah.
Pajak pertambahan nilai tipe konsumsi ini memiliki beberapa nilai positif, yaitu:
1)      Membantu likuiditas perusahaan, karena seluruh Pajak Masukan atas pembelian Barang Kena Pajak yang digunakan dalam proses produksi segera dapat dikreditkan.
2)      Menunjang ikli investasi sehat
3)      Mendorong pengusaha secara berkala melakukan regenerasi alat produksi barang modal tidak dikenakan pajak lebih dari satu kali.
4)      Tidak menimbulkan pengenaan pajak berganda (bersift non kumulasi).
b.      Net Income Type VAT
Dalam Net Income Type Value Added Tax, pengurangan pembelian barang modal dari dasar pengenaan pajak tidak dimungkinkan. Pembelian barang modal hanya boleh dikurangkan sebesar presentase penyusutan yang ditentukan pada waktu menghitung hasi l bersih dalam rangka penghiungan pajak penghasilan. Oleh karena itu dasar pengenaan pajak pertambahan nilai akan sama dengan dasar pengenaan pajak penghasilan.
c.       Gross Product Type VAT
dalam Gross Product Tyoe Value Added tax, pembelian barang modal sama sekali tidak boleh dikurangkan dari dasar pengenaan pajak. Hal ini mengakibatkan barang modal dikenakan pajak dua kali yaitu pada saat dibeli, kemudian pemajakan yang kedua dilakukan melalui hasil produksi yang dijual kepada konsumen.
4.      Pencatatan Dan Pebukuan Dalam Pajak Pertambahan Nilai
a.       Dasar hukum
Ketentuan mengenai pembukuan yang sebelum 1 januari 2001diatur dalam pasal 6 UU PPN 1984, dengan UU Nomor 18 Tahun 2000 dihapus sehingga mengenai kewajiban pembukuan dibidang PPn semata-mata mengacu pada pasal 28 UU KUP. Ide yang melatarbelakangi penghapusan pasal 6 UU PN 1984 dapat dipahami yaitu mengenai kewajiban menyelenggrankan pembukuan dan pencatatan sudah diatur dalam Pasal 28 UU KUP.
Kewajiban ini merupakan bagian dari ketentuan formal.UU no 8 tahun 1984 merupakan ketentuan materil sehingga tidak dapat apabila mengatur juga kewajiban formal.Selai itu untuk menghindari pengaturan ganda terhadap satu masalah.
b.      Pencatatan yang Wajib Diselenggarakan Oleh PKP
1)      Kuantum Barang Kena Pajak Yang diserahkan
2)      Harga Perolehan Barang/Jasa Kena Pajak dan Pajak Masukan
3)      Harga Jual/Penggantian dan Pajak keluaran yang dikenakan
4)      Penyerahan yang terutang PPN 10%
5)      Penyerahan yang terutang PPN 0%
6)      Penyerahan yag tidak terutang PPN
7)      Penyerahan yang terutang PPnBM
Karena berdasarkan pasal 16B UU PPN 1984, terhadap penyerahan BKP/JKP tertentu diberikan fasilitas maka bagi PKP yang melakukan penyerahan terkait dengan fasilitas dimaksud, pencatatan itu harus ditambah dengan dua materi lagi yaitu :
8)      Penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan pajak
9)      Penyerahan yang PPN dan PPnBM-nya tidak dipungut.
1.      Barang Kena Pajak (BKP)
a.       Pengertian
Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang.
Barang kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN 1984.
Yang dimaksud dengan “Barang Kena Pajak Tidak Berwujud” adalah:
1)      Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia,merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/ industrial atau hak serupa lainnya.
2)      Penggunaan atau hak menggunakan peralatan/ perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah.
3)      Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial.
4)      pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada huruf a, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/ perlengkapan tersebut pada huruf b, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada huruf c, berupa:
5)      penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyaraka tmelalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang seupa;
6)      penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/ dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
7)      penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;
8)      Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio.
9)      Pelepasan seluruhnya atau sebagaian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/ industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.
b.      Pengecualian BKP
Pada dasarnya semua barang adalah BKP, kecuali undang-undang menetapkan sebaliknya. Jenis barang yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah didasarkan atas kelompok-kelompok barang sebagai berikut:
1)      Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, seperti:
a)      Minyak mentah (crude oil);
b)      gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung masyarakat;
c)      panas bumi;
d)     asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu bpermata, bentonit, dolomit, felspar (feldsfar), garam batu (halite), grafit, granit/ andesit, gips, kalsit,kaolin,leusit,magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal, dan traktit;
e)      batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan
f)       bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit.
2)      Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, seperti:
a)      Beras;
b)      Gabah;
c)      Jagung;
d)     Sagu;
e)      Kedelai;
f)       Garam baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
g)      Daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/ direbus;
h)      Telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, disinkan, atau dikemasi.
i)        Susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/ atau dikemas atau tidak dikemas;dan
j)        Sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/ atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.
3)      Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan  dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan
4)      Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga (saham, obligasi dan lainnya).
2.      Jasa Kena Pajak (JKP)
a.       Pengertian
Jasa  adalah setiap kegiatan pelayanan  yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesanan.
Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN 1984.
b.      Pengecualian JKP
Pada dasarnya semua jasa dikenakan pajak, kecuali yang ditentukan lain oleh Undang-Undang PPn. Jenis jasa yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah didasarkan atas kelompok-kelompok jasa sebagai berikut.
1)      Jasa pelayanan kesehatan medis, meliputi:
a)      Jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi;
b)      Jasa dokter hewan;
c)      Jasa ahlikesehatan seperti ahli akupuntur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli fisioterapi;
d)     Jasa kebidanan dan dukun bayi;
e)      Jasa paramedis dan perawat;
f)       Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium;
g)      Jasa psikolog dan psikiater;
h)      Jasapengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh paranormal.
2)      Jasa di bidang pelayanan sosial, meliputi:
a)      Jasa pelayanan Panti asuhan dan Panti Jompo;
b)      Jasa pemadam kebakaran;
c)      Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan;
d)     Jasa lembaga rehabilitasi;
e)      Jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk krematorium;
f)       Jasa di bidang olahraga kecuali yang bersifat komersial.
3)      Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko.
4)      Jasa keuangan, meliputi:
a)      Jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/ atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu;
b)      jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada pihak lain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya;
c)      jasa-jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa: sewa guna usaha dengan hak opsi, anjak piutang, usaha kartu kredit dan/ atau pembiayaan konsumen;
d)     jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia;
e)      jasa penjaminan.
5)      Jasa asuransi, yaitu jasa pertanggungan yang meliputi asuransi kerugian, asuransi jiwa, dan reasuransi, yang dilakukan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis asuransi, tidak termasuk jasa penunjang asuransi seperti agen asuransi, penilai kerugian asuransi, dan konsultan asuransi.
6)      Jasa di bidang keagamaan, meliputi:
a)      Jasa pelayanan rumah ibadah;
b)      Jasa pemberian khotbah atau dakwah;
c)      Jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan;
d)     Jasa lain di bidang keagamaan.
7)      Jasa pendidikan, meliputi:
a)      Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah;
b)      Jasa penyelenggraan pendidikan luar sekolah.
8)      Jasa kesenian dan hiburan meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan.
9)      Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan meliputi jasa penyiaran radio atau televisi yang dilakukan oleh instansi pemerintah atau swasta ynag tidak bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial.
10)  Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri.
11)  Jasa tenaga kerja, meliputi:
a)      Jasa tenaga kerja;
b)      Jasa Penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha peyedia tenaga kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja disebut;
c)      Jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.
12)  Jasa perhotelan, meliputi:
a)      Jasa penyewaan kamar, termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap.
b)      Jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.
13)  Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum meliputi jenis-jenis jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, antara lain pemberian Izin mendirikan Bangunan, pemberian Usaha Perdagangan, pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, dan pembuatan Kartu Tanda Penduduk.
14)  Jasa penyediaan tempat parkir, yaitu jasa penyediaan tempat parkir yang dilakukan oleh pemilik tempat parkir dan/ atau pengusaha kepada pengguna tempat parkir dengan dipungut bayaran.
15)  Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta.
16)  Jasa pengiriman uang dengan wesel pos.
17)  Jasa boga atau katering.
3.      Pengusaha Kena Pajak (PKP)
a.       Pengertian
1)      Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasadari luar Daerah Pabean.
2)      Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/ atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai paja berdasarkan Undang-Undang PPN 1984.
b.      Kewajiban Pengusaha Kena Pajak
Pengusaha Kena Pajak berkewajiban, antara lain untuk:
1)      Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
2)      Memungut PPN dan PPn BM yang terutang.
3)      Menyetorkan PPN yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.
4)      Melaporkan penghitungan pajak.
c.       Pengecualian Kewajiban Pengusaha Kena Pajak
Pengusaha yang dikecualikan dari nkewajiban sebagai Pengusaha kena Pajak adalah:
1)      Pengusaha Kecil.
2)      Pengusaha yang semata-mata menyerahkan barang dan atau jasa yang tidak dikenakan PPN.
d.      Pengusaha Kecil
Pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang kena Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/ atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pengusaha kecil wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku, jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan brutonya melebihi batas yang telah ditetapkan, Pengusaha tersebut wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan/ atau penerimaan brutonya melebihi Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
PKP dapat mengajukan permohonan pencabutan pengukuhan sebagai PKP apabila jhumlah peredaran bruto dan atau penerimaan brutonya dalam satu tahun buku tidak melebihi batas yang telah ditentukan dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP paling lambat 1 (satu) bulan sejak berakhirnya tahun buku. Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keputusan dalam jangka waktu 2 (dua) bulan sejak permohonan pencabutan pengukuhan diterima. Apabila dalam jangka waktu tersebut Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, permohonan pencabutan pengukuhan dianggap diterima.
Beberapa hal yang perlu diketahui sehubungan dengan pengusaha kecil.
1)      Dilarang membuat faktur pajak
2)      Tidak wajib memasukan SPT Masa PPN
3)      Diwajibkan membuat pembukuan atau pencatatan
4)      Wajib lapor untuk dikukuhkan sebagai PKP, bagi pengusaha kecil yang memperoleh bruto di atas batas yang telah ditentukan.
4.      Penyerahan Barang Kena Pajak
Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak. Penyerahan barang yang termasuk dalam pengertian penyerahan BKP adalah:
1)      Penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian
2)      Pengalihan BKP karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing)
3)      Penterahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang
4)      Pemakaian swendiri dan/atau pemberian Cuma-Cuma atas BKP
5)      BKP berupa persediaan dan atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan , yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan
6)      Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan BKP antar cabang
7)      Penyerahan BKP secara konsinyasi
8)      Penyerahan BKP oleh PKP dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahanya dianggap langsung dari PKP kepada pihak yang membutuhkan BKP
Sedangkan penyerakan barang yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan BKP adalah sebagai berikut.
1)      Penyerahan BKP kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang
2)      Penyerahan BKP untuk jaminan utang piutang
3)      Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebalikanya dan/atau penyerahan BKP atar cabang dalam hal PKP melakukan pemusatan tempat pajak terutang
4)      Pengalihan BKP dalam rangka penggabungan , peleburan, pemekaran , pemecahan dari pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak
5)      BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjual belikan, yang masih tersisa pada saat pembuaan perusahaan dan yang pajak Masukan atas perolehanya tidak dapt di kreditkan.

B.     Objek Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM)
1.      Objek Pajak Pertambahan Nilai
PPN dikenakan atas:
a.       Penyerahan BKP di dalam daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha. Syarat-syaratnya adalah:
1)      Barang berwujud yang diserahkan merupakan BKP
2)      Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP yang tidak berwujud
3)      Penyerahan dilakukan di daerah Pabean
4)      Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha
b.      Impor BKP
c.       Penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha. Syarat-syaratnya adalah sebagai berikut.
1)      Jasa yang diserahkan merupakan JKP
2)      Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean
3)      Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaanya
d.      Pemanfaatan BKP tidak berwujud dan dari luar Daerah Pabean di dalam daerah Pabean
e.       Pemanfaatan JKP dari luar daerah Pabean
f.       Ekspor BKP berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
g.      Ekspor BK tidak Berwujud oleh pengusaha kena pajak
h.      Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidaka dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau pihak lain.
i.        Penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semual tidak untuk diperjualbelikan oleh PKP, kecuali atas penyerahan aktiva yang pajak Masukanya tidak dapat dikreditkan.
2.      Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM)
Dengan pertimbangan bahwa:
a.       Perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi
b.      Perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas BKP yang tergolong mewah
c.       Perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional
d.      Perlu untuk mengamankan penerimaan negara
Maka atas penyerahan BKP yang tergolong Mewah oleh produsen atau impor BKP yang tergolong mewah, disamping dikenakan Pajak Pertambhan Nilai (PPN) juga dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM).Batasan suatu termasuk BKP yang tergolong mewah adalah:
a.       Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok
b.      Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentuu
c.       Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat yang berpenghasilan tinggi
d.      Barang tersebut untuk menunjukan status
PPn BM dikenakan atas:
a.       Penyerahan BKPyang tergolong barang mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang berpenghasilan BKP yang tergolong mewah tersebut di dalam daerah PAbean dalam kegiatan usaha atau pekerjaanya
b.      Impor BKP yang tergolong mewah
PPn BM merupakan pungutan tambahan disamping PPN. PPn BM hanya dikenakan satu kali pada waktu penyerahan BKP yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor BKP yang tergolong mewah.
1.      Karaktreristik PPnBM
Dari Pasal 5 dan Pasal 10 UU PPN 1984 diketahui karakteristik (PPnBM) sebagai berikut:
a.       PPnBM merupakan pungutan tambahan di smping PPN;
b.      PPnBM hanya dikenakan satu kali yaitu pada saat impor, atau penyerahan di dalam Daerah Pabean BKP yang tergolong Mewah oleh pabrikan yang menghasilkannya;
c.       PPnBM tidak dapat dikreditkan dengan PPN atau PPnBM. Namun, Pengusaha Kena Pajak yang mengekspor BKP Yang Tergolong Mewah dapat meminta kembali PPnBM yang telah dibayar pada waktu perolehan BKP Yang Tergolong Mewah yang dieskpor tersebut.
Berdasarkan ketentuan tersebut, pada dasarnya PPnBM hanya dikenakan satu kali yaitu pada mata rantai jalur distribusi yang disebut dalam Pasal 5 UU PPN 1984.
2.      Tujuan Pengenaan PPnBM di Samping PPN
Dalam memori penjelasan Pasal 5 UU PPN 1984 ditegaskan bahwa tujuan mengenakan PPnBM di samping PPN adalah:
a.       Untuk memperoleh keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi;
b.      Untuk mengendalikan pola konsumsi BKP Yang Tergolong Mewah;
c.       Melindungi produsen kecil atau tradisional;
d.      Untuk mengemankan penerimaan negara.
3.      Tarif PPnBM
Berdasarkan Pasal 8 UU PPN 1984, tarif PPnBM adalah sebagai berikut:
a.       Atas impor atau penyerahan “Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah” oleh Pabrikan BKP yang terrgolong mewah tersebut, dikenakan PPnBM di samping PPN;
b.      Tarif PPnBM yang semula berkisar antara 10% sampai dengan setinggi-tingginya 50% sejak 1 Januari 2001 diubah menjadi paling rendah 10% dan paling tinggi 75%.
c.       Atas ekspor BKP yang Tergolong Mewah dikenakan PPnBM dengan tarif 0%.
4.      Kriteria BKP yang Tergolong Mewah
Kriteria BKP yang Tergolong Mewah dalam penjelasan Pasal 5 UU PPN 1984 adalah:
a.       Bahwa barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau
b.      Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
c.       Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; atau
d.      Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
e.       Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat, seperti minuman beralkohol.
5.      Dasar Pengenaan Pajak Untuk Menghitung PPnBM yang Terutang
Dasar Pengenaan Pajak untuk menghitung PPnBM yang terutang adalah:
a.       Untuk penyerahan kendaraan bermotor di dalam Daerah Pabean, Dasar pengenaan Pajaknya  adalah Harga Jual;
b.      Untuk impor kendaraan bermotor adalah Nilai Impor.
c.       Dalan hal terdapat hubungan istimewa antara Industri Perakitan atau Pabrikan kendaraan bermottor dengan Distributor atau Dealer atau Agen atau Penyalur dan Harga Jual dipengaruhi oleh adanya hubungan istimewa antara pihak-pihak tersebut sehingga Harga Jual menjadi lebih rendah daripada harga pasar wajar, maka Dasar Pengenaan Pajaknya ditetapkan sebesar harga pasar wajar.
6.      Dibebaskan dari Pengenaan PPnBM
Berdasarkan Pasal 4 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 355/KMK.03/2003 dibebaskan dari pengenaan PPnBM:
a.       Impor atau penyerahan kendaraan bermotor di dalam Daerah Pabean yang digunakan untuk kendaraan ambulans, kendaraan jenazah, kendaraan pemadam kebakaran, kendaraan tahanan, kendaraan angkutan umum;
b.      Impor atau penyerahan kendaraan bermotor di dalam Daerah Pabean yang digunakan untuk tujuan Protokoler Kenegaraan;
c.       Impor atau penyerahan di dalam Daerah Pabean kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 (sepuluh) orang sampai dengan 15 (lima belas) orang termasuk kemudi, yang digunakan untuk kendaraan dinas TNI atau POLRI;
d.      Impor atau penyerahan semua jenis kendaraan bermotor di dalam Daerah Pabean, yang digunakan untuk keperluan patroli TNI atau POLRI.
Pembebasan ini diperoleh dengan terlebih dahulu pembeli yang berkepentingan mengajukan Surat Keterangan Bebas PPnBM ke Kantor Pelayanan Pajak setempat. Dalam hal sebelum diperoleh surat keterangan ini sudah terlanjur membeli kendaraan bermotor yang diperlukan dan memenuhi kriteria yang seharusnya dibebaskan dari PPnBM, maka pihak pembeli dapat mengajukan permohonan pengembalian (restitusi) PPnBM yang sudah dibayar.
7.      Tidak Dikenakan PPnBM
Berdasarkan Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 355/KMK.03/2003 taqnggal 11 Agustus 2003, PPnBM tidak dikenakan atas impor atau penyerahan:
a.       Kendaraan dalam bentuk CKD;
b.      Kendaraan berupa sasis;
c.       Kendaraan pengangkutan barang;
d.      Kendaraan bermotor beroda dua dengan kapasitas silinder sampai dengan 250cc.
e.       Kendaraan umum untuk pengangkutan 16 (enam belas) orang atau lebih termasuk pengemudi.

C.    Dasar Pengenaan Pajak
Untuk menghitung besarnya pajak (PPN dan PPn BM) yang terutang perlu adanya dasar Pengenaan Pajak (DPP), yang menjadi DPP adalah:
1.      Harga jual
2.      Penggantian
3.      Nilai impor
4.      Nilai ekspor
5.      Nilai lain yang diatur dengan Peraturan Menderi Keuangan
Harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau sehatusnya diminta oleh penjual karena penyerahan BKP, tidak termasuk PPN uang dipungut menurut UU PPN 1984 dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak.
Penggantian adalah berupa uang, termasuk biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan JKP, ekspor JKP, atau ekspor BKP Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk PPN yang dipungut menurut UU PPN tahun 1984 dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak atau berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh penerima jasa karena pemanfaatan JKP dan/atau oleh penerima manfaat BKP Tidak Berwujud karena pemanfaatan BKP tidak Berwujud dari luar daerah Pabean di dalam daerah pabean.
Nilai impor adalah nilai yang berupa uang yang menjadi dasar penghitung bea masuk ditambah pungutan berdasarkan kertentuan dalam perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor BKP, tidak termasuk PPN dan PPn BM yang dipungut menurut UU PPN 1984.
Nilai ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.
Penerapan DPP diatur dalam berbagai peratiran pelaksanaan undang-undang sebgai berikut:
1.      Untuk penyerahan atau penjualan BKP, yang menjadi DPP adalah jumlah harga jual
2.      Untuk penyerahan JKP, yang menjadi DPP adalah pergantian
3.      Untuk impor, yang menjadi DPP adalah nilai impor
4.      Untuk ekspor, yang menjadi DPP adalah nilai ekspor
5.      Atas kegiatan membangun sendiri bangunan permanen dengan luas 300M² atau lebih , yang dilakuakan oleh orang pribadi atau badan tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaanya. DPPnya adalah 40% dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk membangun (tidak termasuk harga peroleh tanah).
6.      Untuk pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP adalah harga jual atau penggantian setelah dikurang laba kotor.
7.      Untuk pemberian Cuma-Cuma BKP adan/atau JKP adalah harga jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor
8.      Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual rata-rata
9.      Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata perjudul film
10.  Untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran.

D.    Tarif
1.      Tarif Pajak Pertambahan Nilai
Tariff PN yang berlaku saat ini adalah 10%. Sedangkan tariff PPN sebesar 0% diterapkan atas:
a.       Ekspor BKP Berwujud
b.      Ekspor BKP Tidak Berwujud
c.       Ekspor JKP
2.      Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
Tarif penjualan atas barang mewah dapat diterapkan dalam beberapa kelompok tariff, yaitu tariff paling rendah adalah 10% dan yang paling tinggi adalah 200%. Ketentuan mengenai tariff kelompok barang kena pajak yang tergolong mewah yang dikenai Pajank Penjualan Atas Barang Mewah dengan peraturan pemerintah. Sedangkan ketentuan mengenai jenis barang yang dikenai PPn BM siatur dengan peraturan menteri keuangan.

E.     Mekanisme Pengenaan PPn
Undang-Undang PPN 1984 menganut metode kredit pajak serta metode faktur pajak. Dalam metode ini PPN dikenakan atas penyerahan BKP atau JKP oleh pengusaha kena pakjak (PKP). PPN dipungut secara bertingkat pada setiap jalur produksi dan distribusi. Unsur pengenaan pajak berganda atau pengenaan pajak atas pajak dapat dihindari dengan menerapkanya mekanisme pengkreditan pajak masukan (metodw kredit pajak). Untuk melakukan pengkreditan pajak masukan, sarana yang digunakan adalah faktur pajak (metode faktur pajak).
Mekanisme pengenaan PPn dapat digambarkan sebagi berikut:
1.      Pada saat mebeli/memperoleh BKP/JKP, akan dipungut PPN oleh PKP penjual. Bagi pembeli yang dipungut oleh PKP penjual tersebut merupakan pembayaran pajak dimuka dan disebut dengan Pjak Masukan. Pembeli berhak menerima bukti berupa faktur pajak.
2.      Pada saat menjual/menyerahkan BKP/JKP kepada pihak lain, wajib memungut PPN. Bagi penjual, PPN tersebut merupakan pajak keluaran. Sebagai bukti telah memungut PPN, PKP penjual wajib membuat faktur pajak.
3.      Apabila dalam suatu masa pajak (jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan takwim) jumlah pajak keluaran lebih besar dari pada jumlah pajak masukan, selisihnya harus disetorkan ke kas negara.
4.      Apabila dalam suatu masa pajak jumlah pajak keluaran lebih kecil dari pada jumlah pajak masukan, selisihnya dapat direstitusi (diminta kembali) atau dikompensasikan ke masa pajak berikutnya.
5.      Pelaporan penghitungan PPN dilakukan setiap masa pajak dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN).
Contoh :
Sepanjang bulan Maret 2011, PT ABC mempunyai transaksi sebagai berikut :
·        Membeli bahan baku seharga Rp. 100.000.000,- (dipungut PPN sebesar Rp. 10.000.000,-)
·        Membeli bahan penolong seharga Rp. 40.000.000,- (dipungut PPN sebesar Rp. 4.000.000,-)
·        Menjual produknya seharga Rp. 200.000.000,- (memungut PPN sebesar Rp. 20.000.000,-)
·        Penghitungan PPN :
Jumlah Pajak Keluaran                               Rp. 20.000.000,-
Jumlah Pajak Masukan                               Rp. 14.000.000,-
PPN kurang bayar                           Rp.   6.000.000,-
Jumlah PPN kurang bayar sebesar Rp. 6.000.000,- ini harus disetorkan ke kas negara.

F.     Cara Menghitung PPn Dan Cara Menghitung PPn BM
1.      Cara Menghitung PPn
Cara menghitung PPN adalah sebagai berikut :
PPN = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif Pajak
 

Contoh :
·      Pengusaha kena pajak “A” menjual tunai BKP kepada pengusaha kena pajak “B” dengan harga jual Rp. 25. 000.000,- PPN yang terutang :
10 % x Rp. 25.000.000 = Rp. 2.500.000,-
PPN sebesar Rp. 2.500.000,- tersebut merupakan pajak keluaran yang dipungut oleh pengusaha kena pajak “A”. Sedangkan bagi pengusaha kena pajak “B”, PPN tersebut merupakan pajak masukan.
·      Seseorang mengimpor BKP dari luar daerah Pabean dengan nilai impor Rp. 15.000.000,- PPN yang dipungut melalui Direktorat Jendral Bea dan Cukai :
10     x Rp. 15.000.000 = Rp. 1.500.000,-

2.      Cara Menghitung PPn BM
PPn BM = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif Pajak
Cara menghitung PPn BM adalah sebagai berikut :

Contoh :
PKP “ABC” sebagai pabrikan menyerahkan barang hasil produksinya dengan harga jual Rp. 10.000.000,-. Barang tersebut merupakan BKP yang tergolong mewah dengan tarif PPn BM sebesar 40 %. Penghitungan pajak yang harus dipungut adalah sebagai berikut :
PPN                = 10 % x Rp. 10.000.000 = Rp. 1.000.000,-
PPn BM                      = 40 % x Rp. 10.000.000 = Rp. 4.000.000,-

G.    Saat Terutang Pajak
Pajak terutang pada saat :
1.      Penyerahan BKP/JKP
2.      Impor BKP
3.      Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah Pabean didalam daerah Pabean.
4.      Pemanfaatan JKP dari luar daerah Pabean
5.      Ekspor BKP berwujud
6.      Ekspor BKP tidak berwujud
7.      Ekspor JKP
8.      Pembayaran, pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP atau sebelum penerahan JKP atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelu dimulainya pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar daerah Pabean.
1.      Tempat Terutang Pajak
a.       Untuk penyerahan BKP/JKP :
1)      Tempat tinggal
2)      Tempat kedudukan
3)      Tempat kegiatan usaha
4)      Tempat lain
Apabila Penguasa Kena Pajak terutang pajak pada lebih dari satu tempat kegiatan usaha, Pengusaha Kena Pajak tersebut dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya dalam menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak untuk memilih satu tempat atau lebih sebagai tempat terutangnya pajak.
b.      Dalam hal impor, terutangnya pajak terjadi ditempat barang kena pajak dimasukkan dan dipungut melalui Direktorat Jendral Bea dan Cukai.
c.       Orang pribadi atau badan yang mrmanfaatkan BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean terutang pajak ditempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha.
d.      Untuk kegiatan membangun sendiri oleh PKP yang dilakukan tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya atau oleh bukan PKP, ditempat bangunan tersebut didirikan.
2.      Faktur Pajak
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP.
Faktur pajak dibuat pada :
a.       Saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak
b.      Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak.
c.       Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan, atau
d.      Saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP yang paling sedikit memuat :
a.       Nama, alamat, dan NPWP yang menyerahkan BKP/JKP
b.      Nama, alamat dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP
c.       Jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga
d.      PPN yang dipungut
e.       PPn BM yang dipungut
f.       Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak
g.      Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak
Faktur Pajak harus dibuat pada :
a.       Saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak
b.      Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak
c.       Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan
d.      Untuk Faktur Pajak gabungan harus dimuat paling lama pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
e.       Saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.

H.    Mekanisme Kredit Pajak
Pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak, pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean wajib membayar Pajak Pertambahan Nilai dan berhak menerima bukti pungutan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar tersebut merupakan Pajak Masukan bagi pembeli barang kena pajak, penerima jasa kena pajak pengimpor barang kena pajak, pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Pajak masukan yang wajib dibayar tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungutnya dalam masa pajak yang sama. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
Apabila dalam suatu Masa Pajak, pajak keluaran lebih besar dari pada pajak masukan yang dapat dikreditkan, maka selisihnya merupakan PPN yang harus disetorkan oleh PKP ke kas negara paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan sebelum Surat Pemberitahuan masa PPN disampaikan. Sedangkan apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar dari pada Pajak Keluarannya, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dimintakan kembali (restitusi) atau dikompensasikan pada Masa Pajak berikutnya.
Contoh 1 :
Selama bulan takwim terjadi kegiatan usaha sebagai berikut :
·         Membeli bahan baku dan lain-lain dari pabrikan Rp. 100.000.000,-
·         Menyerahkan hasil produksi dengan harga jual Rp.  60.000.000,-
Pajak Masukan yang dipungut oleh PKP lain adalah sebesar :
10 % x Rp. 100.000.000 = Rp. 10.000.000,-

Pajak Keluaran yang harus dipungut :
10 % x Rp. 60.000.000 = Rp. 6.000.000,-

PPN yang lebih dibayar dalam Masa Pajak yang bersangkutan :
Rp. 10.000.000 – Rp. 6.000.000 = Rp. 4.000.000,-

Kelebihan tersebut dapat dikompensasi pada Masa Pajak berikutnya atau dapat diminta kembali (restitusi).
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar dari Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan pajak yang harus disetor ke kas negara oleh PKP.

Contoh 2 :
Selama bulan takwim terjadi kegiatan usaha sebagai berikut :
·         Membeli bahan baku dan lain-lain dari pabrikan Rp. 150.000.000,-
·         Menyerahkan BKP hasil produksi dengan harga jual Rp. 200.000.000,-
Pajak Masukan yang dipungut oleh PKP lain adalah sebesar :
10 % x Rp. 150.000.000 = Rp. 15.000.000,-

Pajak Keluaran yang harus dipungut :
10% x Rp. 200.000.000 = Rp. 20.000.000,-

PPN yang masih harus disetor ke kas negara :
Rp. 20.000.000 – Rp. 15.000.000 = Rp. 5.000.000,-

1.      Pajak Masukan Yang Tidak Dapat Dikreditkan
Pajak Masukan pada dasarnya dapat dikreditkan terhadap Pajak Keluaran. Akan tetapi tidak semua Pajak Masukan dapat dikreditkan. Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk :
a.       Perolehan BKP/JKP sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP.
b.      Perolehan BKP/JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha.
c.       Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan.
d.      Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP.
e.       Perolehan BKP/JKP yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat 5 atau ayat 9 UU PPN 1984 atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP.
f.       Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat 6 UU PPN 1984.
g.      Perolehan BKP/JKP yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak.
h.      Perolehan BKP/JKP yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam SPT masa PPN, yang ditemukan pada waktu pemeriksaan.
i.        Perolehan BKP selain barang modal atau JKP sebelum PKP produksi.
j.        Pajak masukan yang dibayar untuk perolehan BKP dan/atau perolehan JKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan  Nilai.

I.       Penyerahan Kepada Pemungut Ppn
Sedikit menyimpang dari mekanisme yang secara umum berlaku, apabila PKP menyerahkan BKP dan/atau JKP kepada pemunguut PPN, PKP yang bersangkutan tidak memungut PPN dan PPnBM. PPN dan PPnBM yang terutang atas penyerahan tersebut akan dipungut dan disetorkan ke kas Negara oleh pemungut PPN.
Pengertian pemungut PPN menurut Undang- undang PPN 1984 adalah bendaharawan pemerintah, badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan BKP dan atau penyerahan JKP kepada bendaharawan pemerintah, badan, atau instansi pemerintah tersebut.
Menurut ketentuan yang berlaku saat ini, yang ditetapkan sebagai pemungut PPN adalah:
1.      Bendaharawan Pemerintah, yaitu bendaharawan atau pejabat yang melakukan pembayaran yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang terdiri dari bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah baik Provinsi, Kabupaten, atau Kota.
2.      Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN)
Pemungutan PPN yang melakukan pembayaran atas penyerahan NKP dan atau JKP oleh Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah, wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPn dan PPnBM yang terutang. Pemungutan PPN dan PPnBM dilakukan pada saat dilakukan pembayaran oleh Bendaharawan Pemerintah atau KPPN kepada PKP Rekanan Pemerintah. PPN dan PPnBM tidak dipungut dalam hal:
1.      Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah – pecah.
2.      Pembayaran untuk pembebasan tanah
3.      Pembayaran atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang menurut ketentuan perundang- undangan yang berlaku, mendapat fasilitas PPN tidak dipungut dan/atau dibebaskan dari pengenaan PPN.
4.      Pembayaran atas penyerahan Bahan Bakar Minyak dan Bukan Bahan Bakar Minyak oleh PT (Persero) Pertamina.
5.      Pembayaran atas rekening telepon.
6.      Pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan.
7.      Pembayaran lainnya untuk penyerahan barang atau jasa yang menurut ketentuan perundang- undangan yang berlaku tidak dikenakan PPN.
Catatan:
PPN dan PPnBM yang terutang sehubungan dengan pembayaran yang jumlahnya paling banyak jumlah Rp 1.000.000,00, dipungut dan disetor oleh Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah sesuai dengan ketentuan yang berlaku umum. Batas jumlah pembayaran sebesar Rp 1.000.000,00 tersebut hendaknya diartikan termasuk PPN dan PPnBM.
Tata Cara Pemungutan
1.      Dasar Pemungutan
Dasar pemungutan PPN dan PPnBM adalah jumlah pembayaran yang dilakukan oleh Bendaharawan Pemerintah atau jumlah pembayaran yang dilakukan oleh KPPN sebagaimana tersebut dalam Surat Perintah Membayar (SPM).
2.      Jumlah atau PPnBM yang dipungut
a.       Dalah hal penyerahan BKP hanya terutang PPN, maka jumlah PPN yang dipungut adalah 10/110 bagian dari jumlah pembayaran.
Contoh:
Jumlah Pembayaran                                                Rp 11.000.000,00
Jumlah PPN : 10/110 x 11.000.000,00                    Rp   1.000.000,00
Sisa yang dibayarkan kepada PKP rekanan
 ( Rp 11.000.000,00 – Rp 1.000.000,00)                   Rp 10.000.000,00

b.      Dalam hal penyerahan BKP yang tergolong mewah dari pengusaha yang menghasilkan BKP yang tergolong mewah tersebut, disamping terutang PPN juga terutang PPnBM, maka jumlah PPN dan PPnBM yang dipungut adalah sebagai berikut:
Dalam hal terutang  PPnBM sebesar 20%, maka jumlah PPN yang dipungut sebesar 10/130 bagian dari jumlah pembayaran sedangkan jumlah PPnBM yang dipungut sebesar 20/130 bagian dari jumlah pembayaran.

Contoh:
PPnBM dengan tariff  20%

Jumlah Pembayaran                                                Rp 13.000.000,00
Jumlah PPN yang dipungut:
(10/130 x 13.000.000,00)                              Rp 1.000.000,00
Jumlah PPnBM yang dipungut:
(20/130) x 13.000.000,00)                             Rp 2.000.000,00

Sisa yang dibayarkan kepada PKP rekanan:
Rp 13.000.000,00 – ( Rp 1.000.000,00 + Rp 2.000.000,00) =  Rp 10.000.000,00

c.       Dalam hal pembayaran berjumlah paling banyak  Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak merupakan jumlah yang terpecah – pecah, maka PPN dan PPnBM tidak perlu dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah. Batas jumlah pembayaran sebesar Rp 1.000.000,00

Contoh 1:
Harga Jual                                                     Rp            900.000,00
PPN: 10% x Rp 900.000,00                          Rp             90.000,00
PPnBM (Misal terutang dengan tarif 20%)          Rp           180.000,00
Harga jual termasuk PPN dan PPnBM                Rp       1. 170.000,00

Meskipun harga jual Rp 900.000,00 tetapi karena pembayaran termasuk PPn dan PPnBM berjumlah Rp 1.170.000,00 (diatas 1.000.000,00). Maka PPN dan PPnBM yang terutang harus dipungut oleh Bendahawaran Pemerintah atau KPPN.
3.      Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran
a.       PKP rekanan Pemerintah membuat Faktur Pajak dan SSP pada saat menyampaikan tagihan kepada Bendaharawan Pemerintah atau KPPN baik untuk sebagian maupun seluruh pembayaran.
b.      SSP sebagaimana dimaksud pada huruf a diisi dengan membubuhkan NPWP dan identitas PKP Rekanan Pemerintah yang bersangkutan, tetapi penandatanganan SSP dilakukan oleh Bendaharawan Pemerintah atau KPKN sebagai penyetor atas nama PKP Rekanan Pemerintah.
c.       Dalam hal penyerahan BKP tersebut terutang PPnBM maka PKP rekanan Pemerintah mencantumkan jumlah PPnBM yang terutang pada Faktur Pajak.
d.      Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a dibuat dalam rangkap 3:
·         Lembar ke-1 untuk Bendaharawan Pemerintah atau KPPN sebagai Pemungut PPN.
·         Lembar ke-2 untuk arsip PKP rekanan Pemerintah.
·         Lembar ke-3 untuk Kantor Pelayanan Pajak melalui Bendaharawan Pemerintah atau KPPN.
e.       Dalam hal Pemungutan oleh Bendaharawan Pemerintah, SSP sebagaimana dimaksud pada huruf a dibuat rangkap 5 (lima). Setelah PPN dan  atau PPnBM disetor Bank Persepsi atau Kantor Pos, lembar – lembar SSP tersebut diperuntukan sebagai berikut:
·         Lembar ke-1 untuk PKP Rekanan Pemerintah.
·         Lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan Pajak melalui KPPN
·         Lembar ke-3 untuk PKP Rekanan Pemerintah di lampirkan pada saat SPT Masa PPN.
·         Lembar ke-4 untuk Bank Persepsi atau Kantor Pos.
·         Lembar ke-5 untuk pertinggala Bendaharawan Pemerintah.
f.       Dalam hal pemungutan oleh KPPN, SSP sebagaimana dimaksud pada huruf a di buat dalam rangkap 4 (empat) yang masing-masing diperuntukan sebagai berikut:
·         Lembar ke-1 untuk PKP Rekanan Pemerintah
·         Lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan Pajak KPPN.
·         Lembar ke-3 untuk PKP rekanan Pemerintah dilampirkan pad SPT Masa PPN.
·         Lembar ke-4 untuk pertinggal KPPN.
g.      Pada lembar Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d oleh Bendaharawan Pemerintah yang melakukan pemungut wajib dibubuhi cap “Disetor tanggal ………” dan ditandatangani oleh Bendaharawan Pemerintah.
h.      Pada setiap lembar Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d dan SSP sebagaimana dimaksud pada huruf f oleh KPPN yang melakukan pemungutan dicantumkan nomor dan tanggal advis SPM.
i.        SSP lembar ke-1 dan lembar ke-2 sebagaimana dimaksud pada huruf f dibubuhi cap “TELAH DIBUKUKAN” oleh KPPN.
j.        Faktur Pajak dan SSP merupakan bukti pemungutan dan penyetoran PPN dan atau PPnBM.

J.      PPn Atas Kegiatan Membangun Sendiri Dan Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) PPN
1.      PPn Atas Kegiatan Membangun Sendiri
Atas kegiatan membangun sendiri terutang Pajak Pertambahan Nilai. Yang dimaksud dengan kegiatan membangun sendiri adalah kegiatan membangun bangunan yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain. Sedangkan yang dimaksud dengan bangunan berupa satu atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau diletakan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan criteria:
a.       Konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja.
b.      Diperuntukan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha, dan
c.       Luas keseluruhan paling sedikit 300m2 (tiga ratus meter persegi)
1)      Tarif dan Dasar Pengenaan pajak
Atas kegiatan membangun sendiri dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dengan tariff 10 % (sepuluh persen) dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak. Dasar Pengenaan Pajak atas kegiatan membangun sendiri adalah 40 % dari jumlah biaya  yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun sendiri, tidak termasuk harga perolehan tanah. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang setiap bulan dihitung dengan cara:
PPN = (40 % x Jumlah Biaya yang Dikeluarkan) x 10 %
 

                   Contoh:
Tuan Budi melakukan kegiatan membangun sendiri bangunan dengan luas 400m2 yang akan dibangun sebagai rumah tinggal. Seluruh biaya yang dikeluarkan pada bulan April 2010 (dikeluarkan pembeli tanah) adalah sebesar Rp 50.000.000,00. PPN yang harus disetorkan adalah:
PPN           = (Rp 50.000.000,00 x 40 % ) x 10 %
                        = Rp 20.000.000,00 x 10 %
                        = Rp 2.000.000,00
Catatan:
Pajak Masukan yang dibayar sehubungan dengan kegiatan membangun sendiri tidak dapat dikreditkan.
2)      Saat dan Tempat Terutang PPN
Saat terutang PPN atas kegiatan membangun sendiri adalah pada saat mulai dibangunya bangunan. Sedangkan tempat pajak terutang adalah tempat bangunan tersebut didirikan.
Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri harus menyetorkan PPN yang terutang ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.
Kegiatan membangun sendiri wajib dilaporkan kepada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi tempat bangunan tersebut dengan mempergunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.
2.      Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) PPN
Surat pemberitahuan Masa merupakan laporan bulanan yang dapat disampaikan oleh Pengusaha Kena Pajak, mengenai penrhitungan:
1.      Pajak masukan berdasarkan realisasi pembelian BKP atau realisasi penerimaan JKP.
2.      Pajak keluaran berdasarkan realisasi pengeluaran BKP/ JKP.
3.      Penyetoran pajak atau kompensasi.
Bagi Pengusaha Kena Pajak penyampaian SPT:
1.      PKP wajib melaporkan perhitungan pajak tersebut kepada Direktorat Jenderal Pajak (Kantor Pelayanan Pajak)
2.      Dilakuakn paling lambat tanggal 20 setelah akhir masa pajak.
3.      Menggunakan formulir SPT Masa.
4.      Keterangan dan dokumen yamng dicantumkan jika tidak atau tidak sepenuhnya melaksanakan ketentuan UU PPN. 1984.
5.      Pelantukan juga Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan




























2. BPHTB

   A.  Pengertian BPHTB
( Pasal 1 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No. 20 Tahun 2000)
Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.  Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
Adapun Hak atas Tanah dan atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Hak Atas Tanah
Pasal 16 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 menyebutkan bahwa hak-hak atas tanah
yang dimaksud ialah :
1. hak milik;
2. hak guna usaha;
3. hak guna bangunan;
4. hak pakai;
5. hak sewa;
6. hak membuka tanah;
7. hak memungut hasil hutan; dan
8. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan   ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara.

Hak-hak yang sifatnya sementara tersebut, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifatsifatnya yang bertentangan dengan Undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya di dalam waktu yang singkat.



B.   Subjek dan Objek BPHTB

·      Objek BPHTB
Dalam Pasal 2 UU BPHTB, yang menjadi objek BPHTB adalah perolehan hak atas
 tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut meliputi :

1. Pemindahan Hak, karena:
a. Jual Beli;
b. Tukar Menukar;
c. Hibah;
d. Hibah Wasiat;
e. Waris;
f. Pemasukan dalam Perseroan/Badan Hukum lainnya;
g. Pemisahan Hak yang mengakibatkan peralihan;
h. Penunjukan pembeli dalam Lelang;
i. Pelaksanaan putusan Hakim yang mempunyai kekuatan Hukum Tetap;
j. Penggabungan Usaha;
k. Peleburan Usaha;
l. Pemekaran Usaha; dan
m. Hadiah.

2. Pemberian Hak Baru karena :
a. Kelanjutan Pelepasan Hak; dan
b. Diluar Pelepasan Hak.

Sedangkan jenis-jenis hak atas tanah yang perolehan haknya dikenakan BPHTB
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (3) UU BPHTB meliputi :
a. Hak Milik;
b. Hak Guna Usaha;
c. Hak Guna Bangunan;
d. Hak Pakai;
e. Hak Milik atas satuan Rumah Susun; dan
f. Hak Pengelolaan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) terdapat beberapa objek pajak yangtidak
dikenakan BPHTB yaitu :
a. Objek yang diperoleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasar azas perlakuan
timbal balik;
b. Objek yang diperoleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau
untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
c. Objek yang diperoleh Badan/Perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha/kegiatan lain diluar fungsi dan tugasnya;
d. Objek yang diperoleh orang pribadi/Badan karena KONVERSI HAK atau karena
perbuatan Hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
e. Objek yang diperoleh orang pribadi/Badan karena WAKAF; dan
f. Objek yang diperoleh orang pribadi/Badan karena kepentingan IBADAH.


·      Subjek BPHTB
Yang menjadi subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas Tanah dan atau Bangunan. Subjek pajak BPHTB sesuai dengan ketentuan tersebut diatas menjadi wajib pajak BPHTB apabila dikenakan kewajiban membayar pajak.



C.  Dasar Hukum BPHTB
  1. UU No. 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas UU No. 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
  2. KMK Nomor : 630/KMK.04/1997 Tentang Badan atau Perwakilan Organisasi Internasional Yang Tidak Dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.




D.  Dasar Pengenaan
( Pasal 6 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Yang menjadi Dasar Pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), yaitu dalam hal :
  1. jual beli adalah harga transaksi;
  2. tukar-menukar adalah nilai pasar;
  3. hibah adalah nilai pasar;
  4. hibah wasiat adalah nilai pasar;
  5. waris adalah nilai pasar;
  6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
  7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
  8. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
  9. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
  10. pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak adalah nilai pasar;
  11. penggabungan usaha adalah nilai pasar;
  12. peleburan usaha adalah nilai pasar;
  13. pemekaran usaha adalah nilai pasar;
  14. hadiah adalah nilai pasar;
  15. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang.

Apabila Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a sampai dengan n tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.




E.   Nilai Pasar
( Pasal 6 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
 Yang dimaksud dengan nilai pasar adalah harga rata-rata dari transaksi jual beli secara wajar yang terjadi di sekitar letak tanah dan atau bangunan.



F.   Tarif Pajak
( Pasal 5 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
 Tarif pajak yang dikenakan atas objek BPHTB  adalah sebesar 5 % (lima persen).





G.  Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)
( Pasal 7 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 jo. PP No.113 Tahun 2000 jo. KMK-516/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK-33/PMK.03/2008)
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). 
Yang dimaksud dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional adalah penetapan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk masing-masing Kabupaten/Kota.



H.  Tata Cara untuk menentukan besarnya NPOPTKP
( Pasal 7 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 jo. PP No.113 Tahun 2000 jo. KMK-516/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK-33/PMK.03/2008)
Tata Cara untuk menentukan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak adalah sebagai berikut :
  1. Besarnya Nilai Perolehan Objek Tidak Kena Pajak ditetapkan untuk setiap Kabupaten/Kota.
  2. Besarnya Nilai Perolehan Objek Tidak Kena Pajak untuk setiap Kabupaten/Kota dapat diusulkan oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat, paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tahun pajak dimulai.
  3. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat atas nama Menteri Keuangan menetapkan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dengan memperhatikan usulan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam point 2.
  4. Dalam hal Pemerintah Daerah tidak mengajukan usulan sebagaimana dimaksud dalam point 2, besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan perkembangan perekonomian regional.



Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan, menetapkan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak secara regional dengan ketentuan:  
  1. untuk perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, ditetapkan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah);       
  2. untuk perolehan hak Rumah Sederhana Sehat (RSH) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 03/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR Bersubsidi, dan Rumah Susun Sederhana sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 7/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR Sarusun Bersubsidi, ditetapkan sebesar Rp 49.000.000,00 (empat puluh sembilan juta rupiah);       
  3. untuk perolehan hak baru melalui program pemerintah yang diterima pelaku usaha kecil atau mikro dalam rangka Program Peningkatan Sertifikasi Tanah untuk Memperkuat Penjaminan Kredit bagi Usaha Mikro dan Kecil, ditetapkan sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);       
  4. untuk perolehan hak selain perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, ditetapkan paling banyak Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah);       
  5. dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf d lebih besar daripada Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf b, maka Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf b ditetapkan sama dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana ditetapkan pada huruf d;       
  6. dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf d lebih besar daripada Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf c, maka Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf c ditetapkan sama dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana ditetapkan pada huruf d."    




I.     Penghitungan Pajak
( Pasal 8 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 ) 
Secara umum besarnya BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) yang diperoleh dari Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP), atau lebih lengkapnya sebagaimana diuraikan pada rumus dibawah ini:

Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)          
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP)                       
 Besarnya BPHTB terutang = 5 % X NPOPKP
   XXXXX     
 XXXXX (-)
 XXXXX     
   XXXXX     


J.    Pengenaan BPHTB Karena Waris, Hibah Wasiat dan Pemberian Hak Pengelolaan

1. Pengenaan BPHTB Karena Waris dan Hibah Wasiat
Sesuai dengan bunyi Pasal 3 ayat (2) UU BPHTB, pengenaan BPHTB karena waris dan hibah wasiat diatur dengan peraturan pemerintah, yaitu PP No. 111 Tahun 2000 tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Karena Waris dan Hibah Wasiat, yang mengatur hal-hal sebagai berikut:

a. BPHTB terutang karena waris dan hibah wasiat sebesar 50 % dari yang
seharusnya terutang
b. Saat terutang pajak adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan
peralihan haknya ke Kantor Pertanahan
c. Dasar pengenaan (NPOP) adalah nilai pasar pada saat pendaftaran hak
d. Apabila NPOP lebih kecil dari NJOP PBB maka yang menjadi dasar pengenaan
adalah NJOP PBB
e. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOTKP) terdiri dari 2 jenis :
1) Maksimum Rp300 juta terhadap waris dan juga terhadap hibah wasiat yang diterima oleh orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas dan satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat termasuk suami/istri.
2) Maksimum Rp60 juta terhadap penerima hibah wasiat selain dari yang diatas.

2. Pengenaan BPHTB Karena Pemberian Hak Pengelolaan
Sesuai dengan Pasal 3 ayat (2) UU BPHTB, pengenaan BPHTB karena pemberian hak pengelolaan diatur dengan peraturan pemerintah, yaitu PP No. 112 Tahun 2000 tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan karena Pemberian Hak Pengelolaan, yang mengatur hal-hal sebagai berikut :

a. Yang dimaksud dengan Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara atas tanah yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya untuk merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah, menggunakan tanah untuk keperluan tugasnya, menyerahkan bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerjasama dengan pihak ketiga.
b. Besarnya BPHTB karena Hak Pengelolaan adalah :
·         0% dari BPHTB yang seharusnya terutang bila penerima Hak Pengelolaan adalah Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota, Lembaga Pemerintah Lain dan Perum Perumnas
·         50% dari BPHTB yang seharusnya terutang untuk selain yang diatas
·         Saat terutang Pajak yaitu sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya keputusan pemberian Hak Pengelolaan
·         Dasar pengenaan ( NPOP) adalah Nilai Pasar
·         Apabila Nilai Pasar lebih kecil dari NJOP PBB maka yang dipakai adalah NJOPPBB.



K.  Saat Terutang Pajak
Ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU BPHTB memuat tentang saat terutang pajak atas
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagai berikut :
1.      Jual Beli : Sejak tanggal dibuat & ditandatanganinya Akta
2.      Tukar Menukar : Sejak tanggal dibuat & ditandatanganinya Akta
3.      Hibah : Sejak tanggal dibuat & ditandatanganinya Akta
4.      Waris : Sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan
5.      Pemasukan dalam Perseroan : Sejak tanggal dibuat & ditandatanganinya Akta
6.      Pemisahan Hak : Sejak tanggal dibuat & ditandatanganinya Akta
7.      Lelang : Sejak tanggal penunjukan pemenang Lelang
8.      Putusan Hakim : Sejak tanggal putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap
9.      Hibah Wasiat : Sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan Haknya ke Kantor Pertanahan
10.  Pemberian Hak Baru : Sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya Surat Keputusan Pemberian Hak
11.  Penggabungan Usaha : Sejak tanggal dibuat & ditandatanganinya Akta
12.  Peleburan Usaha : Sejak tanggal dibuat & ditandatanganinya Akta
13.  Pemekaran Usaha : Sejak tanggal dibuat & ditandatanganinya Akta
14.  Hadiah : Sejak tanggal dibuat & ditandatanganinya Akta.

Pajak terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak, dengan kata lain saat terutang pajak BPHTB adalah merupakan saat untuk wajib membayar pajak. Tempat pajak terutang adalah di wilayah Kabupaten, Kota, atau Propinsi yang meliputi letak tanah dan atau bangunan. Ketentuan tata cara pembayaran BPHTB tercantum dalam Pasal 10 UU BPHTB yang dijabarkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 517/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168/PMK.03/2007 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 517/KMK.04/2000 tentang Penunjukan Tempat dan Tata Cara Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, yang kemudian ditindak lanjuti dengan Keputusan Dirjen Pajak Nomor 269/PJ/2001 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Dan Bentuk Serta Fungsi Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (SSB) dan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor 09/PJ.6/2001 yang intinya adalah sebagai berikut:
·         Pembayaran tidak mendasarkan kepada adanya Surat Ketetapan Pajak
·         Dibayar dengan menggunakan Surat Setoran Bea ( SSB ) ke Kas Negara melalui Bank/Kantor Pos atau Tempat Pembayaran lain yg ditunjuk
·         SSB juga berfungsi sebagai SPOP dan sekaligus digunakan untuk melaporkan data perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.

Kewajiban Bayar adalah pada saat :
1. Dibuat & ditandatanganinya Akta
2. Pendaftaran Hak untuk Waris & Hibah Wasiat
3. Ditunjuknya pemenang Lelang
4. Ditandatanganinya SK Pemberian Hak dalam hal pemberian Hak Baru
5. Putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.





L.   Tata Cara Penetapan Dan Penagihan
Tata cara penetapan BPHTB diatur didalam Pasal 11 dan Pasal 12 sebagai berikut :
1.      Dalam jangka waktu 5 tahun sejak pajak terutang, berdasarkan hasil pemeriksaan terdapat kurang bayar, Direktorat Jenderal Pajak, dalam hal ini Kepala Kantor Pelayanan PBB/KPP Pratama menerbitkan Surat Ketetapan BPHTB Kurang Bayar (SKBKB) ditambah denda 2% per bulan maksimum untuk jangka waktu 24 bulan ( 48% ).
2.      Setelah terbit SKBKB, terdapat data baru lagi sehingga Pajak terutang bertambah, maka Kepala Kantor Pelayanan PBB/KPP Pratama menerbitkan Surat Ketetapan BPHTB Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT) ditambah sanksi administrasi sebesar 100% dari jumlah kenaikan, kecuali wajib pajak melapor sebelum ada pemeriksaan.

Tata cara penagihan BPHTB diatur dalam Pasal 13, Pasal 14 dan Pasal 15 UU BPHTB maka apabila :
·         Pajak terutang tidak/kurang bayar
·          Dari pemeriksaan, SSB kurang bayar
·         WP kena sanksi administrasi berupa denda/bunga maka Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan Surat Tagihan BPHTB (STB) ditambah sanksi bunga 2% per bulan maksimum 24 bulan. Surat Tagihan BPHTB setara dengan Surat Ketetapan Pajak (SKP) SKBKB, SKBKBT, STB, SK Pembetulan / SK Pengurangan / SK Keberatan / SK Banding merupakan Dasar Penagihan Pajak. Pajak terutang berdasar surat-surat tersebut diatas harus dilunasi paling lambat 1(satu) bulan sejak diterima oleh wajib pajak, lewat batas waktu dapat ditagih dengan surat paksa.




M.  Pemberian Fasilitas BPHTB melalui pengurangan BPHTB
Dalam APBN Tahun 2009 diatur dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d UU No. 41 Tahun 2008 tentang APBN Tahun 2009, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 26 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas APBN Tahun 2009, pemerintah memberikan subsidi terhadap BPHTB dalam bentuk pajak yang ditanggung pemerintah (DTP) sebesar 500 miliar rupiah. Pelaksanaan dari DTP BPHTB tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan. Pemberian subsidi dimaksud diberikan dalam bentuk pemberian fasilitas BPHTB bagi pembeli Rumah Sederhana Sehat (RSH) dan Rumah Susun Sederhana (RSS) yang selama ini telah dilakukan oleh pemerintah. Para pengembang atau pengusaha realestat yang melakukan penjualan tanah dan/atau bangunan dengan sistem bersih (netto) atau harga jual sudah termasuk pajak-pajak antara lain BPHTB, maka besarnya BPHTB terutang yang dibebankan kepada pembeli adalah sebesar 5% x (NPOP – NPOPTKP). Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, NPOP dalam hal jual beli adalah harga transaksi dan apabila tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah NJOP PBB. Adapun besarnya NPOPTKP secara regional untuk perolehan hak secara umum ditetapkan paling banyak Rp60.000.000,00. Namun demikian untuk perolehan hak yang memenuhi kriteria Rumah Sederhana Sehat (RSH) dan Rumah Susun Sederhana yang perolehannya dibiayai melalui KPR bersubsidi mendapat fasilitas BPHTB berupa NPOPTKP sebesar Rp 55.000.000,-. Dalam hal NPOPTKP yang ditetapkan secara umum lebih besar daripada Rp
55.000.000,- maka NPOPTKP untuk perolehan hak Rumah Sederhana Sehat (RSH) dan Rumah Susun Sederhana yang perolehannya dibiayai melalui KPR bersubsidi ditetapkan sama dengan NPOPTKP secara umum.
Disamping itu atas permohonan Wajib Pajak, dalam hal Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang memenuhi kriteria Rumah Sederhana (RS) dan Rumah Susun Sederhana serta Rumah Sangat Sederhana (RSS) yang diperoleh langsung dari pengembang dan dibiayai melalui KPR tidak bersubsidi dapat diberikan fasilitas BPHTB berupa pengurangan BPHTB sebesar 25% dari pajak yang terutang.
Adapun dasar pengurangan BPHTB diatur dalam Pasal 20 UU BPHTB yang diatur lebih lanjut dalam KMK No. 561/KMK.03/2004 tanggal 25 Nopember 2004 tentang Pemberian Pengurangan BPHTB. Keputusan Menteri Keuangan ini kemudian diubah dan terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2006 tanggal 13 Oktober 2006 tentang Perubahan Kedua atas KMK No. 561/KMK.04/2004 tentang Pemberian Pengurangan BPHTB, yang dapat dirinci sebagai berikut :
1.      Dalam hal kondisi tertentu Wajib Pajak (WP) yang ada hubungannya dengan Objek Pajak :
-          WP pribadi memperoleh hak baru melalui program Pemerintah di bidang Pertanahan dan tidak mempunyai kemampuan ekonomis mendapat pengurangan sebesar 75%;
-          WP Badan memperoleh hak baru selain Hak Pengelolaan dan telah menguasai tanah dan atau bangunan secara fisik lebih dari 20 tahun mendapat pengurangan sebesar 50%
-          WP pribadi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan RS dan RSS langsung dari pengembang dan membayar secara angsuran mendapat pengurangan sebesar 25%
-          WP pribadi menerima hibah dari keluarga sedarah satu derajad keatas dan kebawah mendapat pengurangan sebesar 50%.
2.      Kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu :
-          WP memperoleh hak dari hasil pembelian uang ganti rugi pemerintah yang nilai ganti ruginya dibawah NJOP mendapat pengurangan sebesar 50%
-          WP memperoleh hak sebagai penggantian dari tanah yang dibebaskan pemerintah untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus, mendapat pengurangan sebesar 50%
-          WP Badan terkena dampak krisis ekonomi dan moneter yang berdampak luas pada kehidupan perekonomian nasional sehingga WP harus melakukan restrukturisasi usaha dan atau utang usaha sesuai kebijaksanaan pemerintah, mendapat pengurangan sebesar 75%
-          WP Bank Mandiri yang memperoleh hak atas tanah yang berasal dari BBD, BDN, Bapindo dan Bank Exim dalam rangka merger, mendapat pengurangan sebesar 100%
-          WP Badan melakukan Merger atau Konsolidasi dengan atau tanpa terlebih dahulu mengadakan likuidasi dan telah memperoleh keputusan persetujuan pengunaan Nilai Buku dlm rangka penggabungan atau peleburan usaha tersebut dari Dirjen Pajak, mendapat pengurangan sebesar 50%
-          WP memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak berfungsi lagi karena bencana alam dlsb yang terjadi dalam waktu 3 bulan setelah penandatanganan Akta, mendapat pengurangan sebesar 50%
-          WP pribadi (Veteran, PNS, TNI, Polri, pensiunan, purnawirawan, janda/dudanya) yang memproleh hak atas tanah dan atau bangunan rumah dinas pemerintah, mendapat pengurangan 75%
-          WP Badan Korpri yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan dalam rangka pengadaaan perumahan bagi anggota Korpri/PNS, mendapat pengurangan sebesar 100%
-          WP Badan anak perusahaan dari perusahaan asuransi dan reasuransi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang berasal dari peusahaan induknya selaku pemegang saham tunggal sebagai kelanjutan dari pelaksanaan KepMenKeu tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, mendapat pengurangan sebesar 50%
-          WP yang domisilinya termasuk dalam wilayah program rehabilitasi dan rekonstruksi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan melalui program pemerintah di bidang pertanahan atau WP yang objek pajaknya terkena bencana lam gempa bumi dan gelombang tsunami di Propinsi NAD dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara, mendapat pengurangan sebesar 100%
-          WP yang objek pajaknya terkena bencana alam gempa bumi di Propinsi DIY dan sebagian Propinsi Jawa Tengah yang perolehan haknya atau saat terhutangnya terjadi 3(tiga) bulan sebelum terjadinya bencana, diberi pengurangan sebesar 100%
-          WP yang objek pajaknya terkena bencana alam gempa bumi dan tsunami di pesisir Pantai Selatan Pulau Jawa yang perolehan haknya atau saat terhutangnya terjadi 3 (tiga) bulan sebelum terjadinya bencana, diberi pengurangan sebesar 100%.
3.      Tanah dan bangunan untuk kepentingan sosial/pendidikan yang semata-mata tidak mencari keuntungan mendapat pengurangan sebesar 50%.
4.      Tanah dan atau bangunan di Propinsi NAD yang selama masa rehabilitasi berlangsung digunakan untuk kepentingan sosial/pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan mendapat pengurangan sebesar 100%.



N.  Tata Cara Permohonan, Keputusan dan Perhitungan Pengurangan BPHTB
·      Tata Cara Permohonan Pengurangan
1.    Permohonan diajukan oleh WP kepada Kepala KPPBB/KPP Pratama / Kakanwil DJP / Dir.Jen.Pajak dalam bahasa Indonesia dengan lampiran :
a.       Fotokopi Surat Setoran Bea (SSB)
b.      Fotokopi Akta/Risalah Lelang/Kep.Pemberian Hak Baru/Putusan Hakim
c.       Fotokopi identitas
d.      Surat Keterangan Lurah/Kepala Desa
e.       Fotokopi persetujuan Merger dari Dirjen Pajak.
2.    Permohonan dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal pembayaran;
3.    Khusus untuk MERGER, permohonan diajukan sebelum Akta ditandatangani oleh Notaris/PPAT
4.    Atas permohonan kemudian dilakukan Pemeriksaan Sederhana dan dituangkan dalam Berita Acara
5.    Permohonan yang tidak memenuhi persyaratan tidak dianggap sebagai surat permohonan dan tidak dipertimbangkan.


·      Keputusan Pengurangan
1.      Keputusan oleh Kepala KPPBB/KPP Pratama dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak terima permohonan dari Wajib Pajak, lebih dari 3 (tiga) bulan dianggap diterima.  Keputusan oleh Kakanwil DJP dalam waktu 4 (empat) bulan sejak diterima pemohonan dari WP, lebih dari 4 bulan dianggap diterima, dan keputusan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam waktu 6 (enam) bulan, lebih dari 6 bulan dianggap dikabulkan
2.      Bentuk Keputusan : mengabulkan seluruhnya/sebagian atau menolak
3.      Wewenang Keputusan :
a.       Ketetapan sampai dengan 2,5 M oleh Kepala Kantor PBB/ KPP Pratama
b.      Ketetapan diatas 2,5 M sampai dengan 5 M oleh KAKANWIL DJP
c.       Lebih dari 5 M, dampak krisis, merger dan Bank Mandiri oleh Direktur Jenderal Pajak.



·      Pengurangan Yang Dihitung Sendiri Oleh WP
Terhadap WP yang memenuhi syarat dapat menghitung sendiri besar pengurangan sebelum pembayaran BPHTB. Dalam Surat Setoran Bea diberi tanda “pengurangan dihitung sendiri” dan jumlah setoran setelah pengurangan. Dalam hal ini WP tetap mengajukan permohonan pengurangan sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Bila permohonannya ditolak/dikabulkan namun BPHTB masih kurang bayar maka terhadap WP tersebut dikenakan sanksi bunga 2% per bulan dari kekurangan bayar tersebut, maksimum 24 bulan. Terhadap BPHTB kurang bayar (SKBKB) tidak dapat diajukan pengurangan kembali.

                                                                                                                                            



Tidak ada komentar:

Posting Komentar