Mendambakan Wanita Sholehah
Apa yang sering diangankan oleh kebanyakan laki-laki
tentang wanita yang bakal menjadi pendamping hidupnya?. Cantik, kaya, punya kedudukan, karir
bagus, dan baik pada suami. Inilah keinginan
yang banyak muncul. Sebuah keinginan yang lebih tepat disebut angan-angan,
karena jarang ada wanita yang memiliki sifat demikian.
Kebanyakan laki-laki lebih memperhatikan penampilan
dzahir, sementara unsur akhlak dari wanita tersebut kurang diperhatikan.
Padahal akhlak dari pasangan hidupnya itulah yang akan banyak berpengaruh
terhadap kebahagiaan rumah tangganya.
Seorang muslim yang shalih, ketika membangun mahligai
rumah tangga maka yang menjadi dambaan dan cita-citanya adalah agar kehidupan
rumah tangganya kelak berjalan dengan baik, dipenuhi mawaddah wa rahmah, sarat
dengan kebahagiaan, adanya saling ta‘awun (tolong menolong), saling memahami
dan saling mengerti. Dia juga mendamba memiliki istri yang pandai memposisikan
diri untuk menjadi naungan ketenangan bagi suami dan tempat beristirahat dari
ruwetnya kehidupan di luar. Ia berharap dari rumah tangga itu kelak akan lahir
anak turunannya yang shalih yang menjadi qurratu a‘yun (penyejuk mata) baginya.
Demikian harapan demi harapan dirajutnya sambil
meminta kepada Ar-Rabbul A‘la (Allah Yang Maha Tinggi) agar dimudahkan segala
urusannya.
Namun tentunya apa yang menjadi dambaan seorang muslim
ini tidak akan terwujud dengan baik terkecuali bila wanita yang dipilihnya
untuk menemani hidupnya adalah wanita shalihah. Karena hanya wanita shalihah
yang dapat menjadi teman hidup yang sebenarnya dalam suka maupun lara, yang
akan membantu dan mendorong suaminya untuk taat kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Hanya dalam diri wanita shalihah tertanam aqidah tauhid, akhlak yang
mulia dan budi pekerti yang luhur. Dia akan berupaya ta‘awun dengan suaminya
untuk menjadikan rumah tangganya bangunan yang kuat lagi kokoh guna menyiapkan
generasi Islam yang diridhai Ar-Rahman.
Sebaliknya, bila yang dipilih sebagai pendamping hidup
adalah wanita yang tidak terdidik dalam agama1 dan tidak berpegang dengan
agama, maka dia akan menjadi duri dalam daging dan musuh dalam selimut bagi
sang suami. Akibatnya rumah tangga selalu sarat dengan keruwetan, keributan,
dan perselisihan. Istri seperti inilah yang sering dikeluhkan oleh para suami,
sampai-sampai ada di antara mereka yang berkata: “Aku telah berbuat baik kepadanya dan memenuhi semua
haknya namun ia selalu menyakitiku.”
Duhai kiranya wanita itu tahu betapa besar hak
suaminya, duhai kiranya dia tahu akibat yang akan diperoleh dengan menyakiti
dan melukai hati suaminya….! Namun dari mana pengetahuan dan kesadaran itu akan
didapatkan bila dia jauh dari pengajaran dan bimbingan agamanya yang haq?
Wallahu Al-Musta‘an.
Keutamaan wanita shalihah
Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhuma meriwayatkan
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الدُّنْيَا مَتاَعٌ
وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Sesungguhnya dunia
itu adalah perhiasan2 dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.”
(HR. Muslim no. 1467)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
kepada Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu:
أَلاَ أُخْبِرَكَ
بِخَيْرِ مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ، اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرَ
إِلَيْهَا سَرَّتْهَ وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهَ وَإِذَا غَابَ عَنْهَا
حَفِظَتْهَ
“Maukah aku
beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu
istri shalihah yang bila dipandang akan menyenangkannya3, bila diperintah4 akan
mentaatinya5, dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga dirinya.”
(HR. Abu Dawud no. 1417. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata dalam
Al-Jami’ush Shahih 3/57: “Hadits ini shahih di atas syarat Muslim.”)
Berkata Al-Qadhi ‘Iyyadh rahimahullah: “Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan
kepada para sahabatnya bahwa tidak berdosa mereka mengumpulkan harta selama
mereka menunaikan zakatnya, beliau memandang perlunya memberi kabar gembira
kepada mereka dengan menganjurkan mereka kepada apa yang lebih baik dan lebih
kekal yaitu istri yang shalihah yang cantik (lahir batinnya) karena ia akan
selalu bersamamu menemanimu. Bila engkau pandang menyenangkanmu, ia tunaikan
kebutuhanmu bila engkau membutuhkannya. Engkau dapat bermusyawarah dengannya
dalam perkara yang dapat membantumu dan ia akan menjaga rahasiamu. Engkau dapat
meminta bantuannya dalam keperluan-keperluanmu, ia mentaati perintahmu dan bila
engkau meninggalkannya ia akan menjaga hartamu dan memelihara/mengasuh anak-anakmu.”
(‘Aunul Ma‘bud, 5/57)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah pula
bersabda:
أَرْبَعٌ مِنَ
السَّعَادَةِ: اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ، وَالْجَارُ
الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيُّ. وَأَرْبَعٌ مِنَ الشّقَاءِ: الْجَارُ
السّوءُ، وَاَلْمَرْأَةُ السُّوءُ، وَالْمَركَبُ السُّوءُ، وَالْمَسْكَنُ
الضَّيِّقُ.
“Empat perkara
termasuk dari kebahagiaan, yaitu wanita (istri) yang shalihah, tempat tinggal
yang luas/ lapang, tetangga yang shalih, dan tunggangan (kendaraan) yang nyaman.
Dan empat perkara yang merupakan kesengsaraan yaitu tetangga yang jelek, istri
yang jelek (tidak shalihah), kendaraan yang tidak nyaman, dan tempat tinggal
yang sempit.” (HR. Ibnu Hibban dalam Al-Mawarid hal. 302,
dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih, 3/57 dan Asy-Syaikh Al
Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 282)
Ketika Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu bertanya
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, harta apakah yang sebaiknya kita
miliki?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
لِيَتَّخِذْ
أَحَدُكُمْ قَلْبًا شَاكِرًا وَلِسَاناً ذَاكِرًا وَزَوْجَةً مُؤْمِنَةً تُعِيْنُ
أَحَدَكُمْ عَلَى أَمْرِ الآخِرَةِ
“Hendaklah salah
seorang dari kalian memiliki hati yang bersyukur, lisan yang senantiasa
berdzikir dan istri mukminah yang akan menolongmu dalam perkara akhirat.”
(HR. Ibnu Majah no. 1856, dishahihkan Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah dalam
Shahih Ibnu Majah no. 1505)
Cukuplah kemuliaan dan keutamaan bagi wanita shalihah
dengan anjuran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi lelaki yang ingin
menikah untuk mengutamakannya dari yang selainnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
تُنْكَحُ
الْمَرْأَةُ ِلأََرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا.
فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita itu dinikahi
karena empat perkara yaitu karena hartanya, karena keturunannya, karena
kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang punya
agama, engkau akan beruntung.” (HR. Al-Bukhari
no. 5090 dan Muslim no. 1466)
Empat hal tersebut merupakan faktor
penyebabdipersuntingnya seorang wanita dan ini merupakan pengabaran berdasarkan
kenyataan yang biasa terjadi di tengah manusia, bukan suatu perintah untuk
mengumpulkan perkara-perkara tersebut, demikian kata Al-Imam Al-Qurthubi
rahimahullah. Namun dzahir hadits ini menunjukkan boleh menikahi wanita karena
salah satu dari empat perkara tersebut, akan tetapi memilih wanita karena
agamanya lebih utama. (Fathul Bari, 9/164)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “(فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ),
maknanya: yang
sepatutnya bagi seorang yang beragama dan memiliki muruah (adab) untuk
menjadikan agama sebagai petunjuk pandangannya dalam segala sesuatu terlebih
lagi dalam suatu perkara yang akan tinggal lama bersamanya (istri). Maka
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mendapatkan
seorang wanita yang memiliki agama di mana hal ini merupakan puncak
keinginannya.” (Fathul Bari, 9/164)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini ada anjuran untuk berteman/
bersahabat dengan orang yang memiliki agama dalam segala sesuatu karena ia akan
mengambil manfaat dari akhlak mereka (teman yang baik tersebut), berkah mereka,
baiknya jalan mereka, dan aman dari mendapatkan kerusakan mereka.”
(Syarah Shahih Muslim, 10/52)
Sifat-sifat Istri
Shalihah
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَالصَّالِحَاتُ
قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
“Wanita (istri)
shalihah adalah yang taat lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada
dikarenakan Allah telah memelihara mereka.” (An-Nisa: 34)
Dalam ayat yang mulia di atas disebutkan di antara
sifat wanita shalihah adalah taat kepada Allah dan kepada suaminya dalam
perkara yang ma‘ruf6 lagi memelihara dirinya ketika suaminya tidak berada di
sampingnya.
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di
rahimahullah berkata: “Tugas seorang istri
adalah menunaikan ketaatan kepada Rabbnya dan taat kepada suaminya, karena
itulah Allah berfirman: “Wanita shalihah adalah yang taat,” yakni taat kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada.”
Yakni taat kepada suami mereka bahkan ketika suaminya tidak ada (sedang
bepergian, pen.), dia menjaga suaminya dengan menjaga dirinya dan harta
suaminya.” (Taisir
Al-Karimir Rahman, hal.177)
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menghadapi permasalahan dengan istri-istrinya sampai beliau bersumpah tidak
akan mencampuri mereka selama sebulan, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan
kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عَسَى رَبُّهُ إِنْ
طَلَّقَكُنَّ أَنْ يُبْدِلَهُ أَزْوَاجًا خَيْرًا مِنْكُنَّ مُسْلِمَاتٍ
مُؤْمِنَاتٍ قَانِتَاتٍ تآئِبَاتٍ عَابِدَاتٍ سآئِحَاتٍ ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَارًا
“Jika sampai Nabi
menceraikan kalian,7 mudah-mudahan Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan
istri-istri yang lebih baik daripada kalian, muslimat, mukminat, qanitat,
taibat, ‘abidat, saihat dari kalangan janda ataupun gadis.”
(At-Tahrim: 5)
Dalam ayat yang mulia di atas disebutkan beberapa
sifat istri yang shalihah yaitu:
a. Muslimat: wanita-wanita yang ikhlas (kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala), tunduk kepada perintah Allah ta‘ala dan perintah
Rasul-Nya.
b. Mukminat: wanita-wanita yang membenarkan perintah
dan larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala
c. Qanitat: wanita-wanita yang taat
d. Taibat: wanita-wanita yang selalu bertaubat dari
dosa-dosa mereka, selalu kembali kepada perintah (perkara yang ditetapkan)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam walaupun harus meninggalkan apa yang
disenangi oleh hawa nafsu mereka.
e. ‘Abidat: wanita-wanita yang banyak melakukan ibadah
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (dengan mentauhidkannya karena semua yang
dimaksud dengan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an
adalah tauhid, kata Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma).
f. Saihat: wanita-wanita yang berpuasa. (Al-Jami‘ li
Ahkamil Qur’an, 18/126-127, Tafsir Ibnu Katsir, 8/132)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:
إِذَا صَلَّتِ
الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ
زَوْجَهَا، قِيْلَ لَهَا: ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ
شِئْتِ
“Apabila seorang
wanita shalat lima waktu, puasa sebulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya dan
taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya: Masuklah engkau ke dalam surga
dari pintu mana saja yang engkau sukai.” (HR. Ahmad
1/191, dishahihkan Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ no.
660, 661)
Dari dalil-dalil yang telah disebutkan di atas,
dapatlah kita simpulkan bahwa sifat istri yang shalihah adalah sebagai berikut:
1. Mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan
mempersembahkan ibadah hanya kepada-Nya tanpa menyekutukan-Nya dengan
sesuatupun.
2. Tunduk kepada perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala,
terus menerus dalam ketaatan kepada-Nya dengan banyak melakukan ibadah seperti
shalat, puasa, bersedekah, dan selainnya. Membenarkan segala perintah dan
larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
3. Menjauhi segala perkara yang dilarang dan menjauhi
sifat-sifat yang rendah.
4. Selalu kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
bertaubat kepada-Nya sehingga lisannya senantiasa dipenuhi istighfar dan dzikir
kepada-Nya. Sebaliknya ia jauh dari perkataan yang laghwi, tidak bermanfaat dan
membawa dosa seperti dusta, ghibah, namimah, dan lainnya.
5. Menaati suami dalam perkara kebaikan bukan dalam
bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan melaksanakan hak-hak suami
sebaik-baiknya.
6. Menjaga dirinya ketika suami tidak berada di
sisinya. Ia menjaga kehormatannya dari tangan yang hendak menyentuh, dari mata
yang hendak melihat, atau dari telinga yang hendak mendengar. Demikian juga
menjaga anak-anak, rumah, dan harta suaminya.
Sifat istri shalihah lainnya bisa kita rinci berikut
ini berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan setelahnya:
1. Penuh kasih sayang, selalu kembali kepada suaminya
dan mencari maafnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ
بِنِسَائِكُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ؟ اَلْوَدُوْدُ الْوَلُوْدُ الْعَؤُوْدُ
عَلَى زَوْجِهَا، الَّتِى إِذَا غَضِبَ جَاءَتْ حَتَّى تَضَعَ يَدَهَا فِي يَدِ
زَوْجِهَا، وَتَقُوْلُ: لاَ أَذُوقُ غَضْمًا حَتَّى تَرْضَى
“Maukah aku
beritahukan kepada kalian, istri-istri kalian yang menjadi penghuni surga yaitu
istri yang penuh kasih sayang, banyak anak, selalu kembali kepada suaminya. Di
mana jika suaminya marah, dia mendatangi suaminya dan meletakkan tangannya pada
tangan suaminya seraya berkata: “Aku tak dapat tidur sebelum engkau ridha.”
(HR. An-Nasai dalam Isyratun Nisa no. 257. Silsilah Al-Ahadits Ash Shahihah,
Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah, no. 287)
2. Melayani suaminya (berkhidmat kepada suami) seperti
menyiapkan makan minumnya, tempat tidur, pakaian, dan yang semacamnya.
3. Menjaga rahasia-rahasia suami, lebih-lebih yang
berkenaan dengan hubungan intim antara dia dan suaminya. Asma’ bintu Yazid
radhiallahu ‘anha menceritakan dia pernah berada di sisi Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Ketika itu kaum lelaki dan wanita sedang duduk. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Barangkali ada seorang suami yang
menceritakan apa yang diperbuatnya dengan istrinya (saat berhubungan intim),
dan barangkali ada seorang istri yang mengabarkan apa yang diperbuatnya bersama
suaminya?” Maka mereka semua diam tidak ada yang menjawab. Aku (Asma) pun
menjawab: “Demi Allah! Wahai Rasulullah, sesungguhnya mereka (para istri)
benar-benar melakukannya, demikian pula mereka (para suami).” Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَلاَ تَفْعَلُوا،
فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِثْلُ الشَّيْطَانِ لَقِيَ شَيْطَانَةً فِي طَرِيْقٍ
فَغَشِيَهَا وَالنَّاسُ يَنْظُرُوْنَ
“Jangan lagi kalian lakukan,
karena yang demikian itu seperti syaithan jantan yang bertemu dengan syaitan
betina di jalan, kemudian digaulinya sementara manusia menontonnya.”
(HR. Ahmad 6/456, Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Adabuz Zafaf (hal.
63) menyatakan ada syawahid (pendukung) yang menjadikan hadits ini shahih atau
paling sedikit hasan)
4. Selalu berpenampilan yang bagus dan menarik di
hadapan suaminya sehingga bila suaminya memandang akan menyenangkannya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلاَ أُخْبِرَكَ
بِخَيْرِ مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ، اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرَ
إِلَيْهَا سَرَّتْهَ وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهَ وَإِذَا غَابَ عَنْهَا
حَفِظَتْهَ
“Maukah aku
beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri
shalihah yang bila dipandang akan menyenangkannya, bila diperintah akan
mentaatinya dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga dirinya”.
(HR. Abu Dawud no. 1417. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata dalam
Al-Jami’ush Shahih 3/57: “Hadits ini shahih di atas syarat Muslim.”)
5. Ketika suaminya sedang berada di rumah (tidak
bepergian/ safar), ia tidak menyibukkan dirinya dengan melakukan ibadah sunnah
yang dapat menghalangi suaminya untuk istimta‘ (bernikmat-nikmat) dengannya
seperti puasa, terkecuali bila suaminya mengizinkan. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَحِلُّ
لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak halal bagi
seorang istri berpuasa (sunnah) sementara suaminya ada (tidak sedang bepergian)
kecuali dengan izinnya”. (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan
Muslim no. 1026)
6. Pandai mensyukuri pemberian dan kebaikan suami,
tidak melupakan kebaikannya, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda: “Diperlihatkan
neraka kepadaku, ternyata aku dapati kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita
yang kufur.” Ada yang bertanya kepada beliau: “Apakah mereka kufur kepada
Allah?” Beliau menjawab: “Mereka mengkufuri suami dan mengkufuri (tidak
mensyukuri) kebaikannya. Seandainya salah seorang dari kalian berbuat baik
kepada seorang di antara mereka (istri) setahun penuh, kemudian dia melihat
darimu sesuatu (yang tidak berkenan baginya) niscaya dia berkata: “Aku tidak
pernah melihat darimu kebaikan sama sekali.” (HR. Al-Bukhari
no. 29 dan Muslim no. 907)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah
bersabda:
لاَ يَنْظُرُ اللهُ
إِلَى امْرَأَةٍ لاَ تَشْكُرُ لِزَوْجِهَا وَهِيَ لاَ تَسْتَغْنِي عَنْهُ
“Allah tidak akan
melihat kepada seorang istri yang tidak bersyukur kepada suaminya padahal dia
membutuhkannya.” (HR. An-Nasai dalam Isyratun Nisa. Silsilah
Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 289)
7. Bersegera memenuhi ajakan suami untuk memenuhi
hasratnya, tidak menolaknya tanpa alasan yang syar‘i, dan tidak menjauhi tempat
tidur suaminya, karena ia tahu dan takut terhadap berita Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam:
وَالَّذِي نَفْسِي
بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَتَأْبَى عَلَيْهِ
إِلاَّ كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا
“Demi Dzat yang jiwaku
berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat
tidurnya lalu si istri menolak (enggan) melainkan yang di langit murka
terhadapnya hingga sang suami ridha padanya.” (HR. Muslim
no.1436)
إِذَا بَاتَتِ
الْمَرْأَةُ مُهَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى
تَرْجِعَ
“Apabila seorang
istri bermalam dalam keadaan meninggalkan tempat tidur suaminya, niscaya para
malaikat melaknatnya sampai ia kembali (ke suaminya).”
(HR. Al-Bukhari no. 5194 dan Muslim no. 1436)
Demikian yang dapat kami sebutkan dari keutamaan dan
sifat-sifat istri shalihah, mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi
taufik kepada kita agar dapat menjadi wanita yang shalihah, amin.
—————————————
1 Atau ia belajar agama namun tidak mengamalkannya
2 Tempat untuk bersenang-senang (Syarah Sunan An-Nasai
oleh Al-Imam As-Sindi rahimahullah, 6/69)
3 Karena keindahan dan kecantikannya secara dzahir
atau karena bagusnya akhlaknya secara batin atau karena dia senantiasa
menyibukkan dirinya untuk taat dan bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
(Ta‘liq Sunan Ibnu Majah, Muhammad Fuad Abdul Baqi, Kitabun Nikah, bab Afdhalun
Nisa, 1/596, ‘Aunul Ma‘bud, 5/56)
4 Dengan perkara syar‘i atau perkara biasa (‘Aunul
Ma‘bud, 5/56)
5 Mengerjakan apa yang diperintahkan dan melayaninya
(‘Aunul Ma‘bud, 5/56)
6 Bukan dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada
Al-Khaliq.
7 Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui bahwasanya
Nabi-Nya tidak akan menceraikan istri-istrinya (ummahatul mukminin), akan
tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan kepada ummahatul mukminin tentang
kekuasaan-Nya, bila sampai Nabi menceraikan mereka, Dia akan menggantikan untuk
beliau istri-istri yang lebih baik daripada mereka dalam rangka menakuti-nakuti
mereka. Ini merupakan pengabaran tentang qudrah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
ancaman untuk menakut-nakuti istri-istri Nabi, bukan berarti ada orang yang
lebih baik daripada shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Al-Jami‘ li
Ahkamil Qur’an, 18/126) dan bukan berarti istri-istri beliau tidak baik bahkan
mereka adalah sebaik-baik wanita. Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Permasalahan ini dibawa kepada pendapat yang
mengatakan bahwa penggantian istri dalam ayat ini merupakan janji dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala untuk Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seandainya
beliau menceraikan mereka di dunia Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menikahkan
beliau di akhirat dengan wanita-wanita yang lebih baik daripada mereka.”
(Al-Jami‘ li Ahkamil Qur’an, 18/127)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar