NAQLI
DAN 'AQLI
A. PENDAHULUAN
Di dalam mengkaji kebenaran suatu perkara dan kesahihannya,
atau di dalam menentukan bahwa sesuatu itu benar,
dapat dipercayai dan diyakini, atau ketika kita ingin menetapkan dasar pijakan
suatu perkara yang kita ucapkan dan kerjakan, kita memerlukan adanya
bukti-bukti, tanda-tanda atau petunjuk-petunjuk yang sah dan akurat, sehingga
kebenaran, kesahihan dan keyakinan itu dapat ditunjukan dan dibuktikan, dan
sekaligus kita dapat memberantas keragu-raguan dan rasa was-was yang mungkin
tertanam di dalam hati kita, juga dapat dijadikan pijakan yang kokoh di
dalam mengerjakan suatu perkara tersebut.
Di dalam hal ini, para ulama Islam telah menentukan dua
landasan pokok yang harus di pegang oleh setiap Muslim di
dalam hal-hal tersebut diatas, yaitu Naqli dan 'aqli.
Dimana kedua landasan tersebut merupakan pijakan yang dipakai oleh mereka,
khususnya, ketika mengungkap dan membuktikan kebenaran-kebenaran dan memantapkan keteguhan dalam berkeyakinan yang ada
di dalam ruang lingkup disiplin ilmu Tauhid atau akidah, dan ketika mengistinbath
(mengambil dalil-dalil) dan menetapkan hukum-hukum perkara-perkara yang ada di
dalam ruang lingkup disiplin ilmu fikih, serta ketika menafsirkan al-Qur'an.
Untuk itu, pemakalah akan mencoba membahas kedua landasan
pokok tersebut agar kita selaku umat islam dapat mengetahui dan memahami naqli
dan 'aqli, serta dapat mempergunakannya di dalam keber-agama-an kita
sehari-hari, baik yang ada kaitannya dengan keimanan maupun amal perbuatan.
B.
PEMBAHASAN
1.
Definisi, maksud dan keutamaan naqli dan 'aqli di dalam syari'at Islam
a. Naqli
Naqli menurut
bahasa adalah dari (نقل
الشيء) yakni mengambil
sesuatu dari satu tempat ke tempat lain, dan (نَقَلَة الحديث) yakni mereka
yang menuliskan hadist-hadist dan menyalinkannya dan menyandarkannya kepada
sumber-sumbernya.
Dikatakan pada dalil-dalil dari Al-qur'an dan hadist: dalil
naqli. Oleh karena itu naqli secara istilah identik dengan dalil-dalil
yang di nukil atau di ambil dari Kitab Allah yang Maha Mulya dan dari sunnah
yang suci atau dalil-dalil yang diriwayatkan kepada kita oleh naqalah
al-hadist dan perawi-perawi[1].
Diantara landasan utama ditetapkannya al-Qur'an dan sunnah
sebagai dalil naqli oleh para ulama adalah sebuah hadist Rasulullah saw:
Artinya: "Telah aku tinggalkan dua perkara, yang
apabila kalian berpegang kepada keduanya maka kalian tidak akan tersesat: Kitab
Allah (al-Qur'an) dan Sunnah Nabi-Nya".
Namun ketika naqli dihubungkan dengan ilmu tafsir
maka disebut tafsir bi al-manqul atau bi al-ma'tsur, yaitu
penafsiran al-Qur'an yang disandarkan kepada riwayat-riwayat yang sahih secara
tertib, atau dengan cara menafsirkan al-Qur'an dengan al-Qur'an atau
menafsirkannya dengan as-Sunnah atau menafsirkannya dengan riwayat-riwayat yang
di terima dari para sahabat atau para tabi'in[3],
seperti penafsirannya At-Thabari dan Ibnu Katsir.
Al-qur'an (القرآن) adalah kitab suci umat Islam yang secara
bahasa merupakan masdar (kata benda) dari kata kerja (قرأ
- قراءة
– قرآناً),
yang berwazan [4]فُعْلان.
Allah swt berfirman:
Artinya: "Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah
mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami
telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu".
Adapun secara istilah adalah kalam Allah, yang diturunkan
kepada Muhammad saw, yang membaca setiap hurufnya adalah ibadah[6]. Atau secara lengkapnya adalah kalam Allah yang bermukjizat, diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui perantaraan Malaikat Jibril dalam bahasa Arab, diriwayatkan secara mutawatir dan membaca setiap hurufnya adalah ibadah, bermula dari
surah al-Fatihah dan berakhir dengan surah an-Naas[7].
Oleh karena itu al-Quran merupakan Kitab Suci umat Islam
yang keotentikannya tidak diragukan lagi; baik dari segi asal-usulnya,
turunnya, riwayatnya, ayat-ayatnya, dst. sehingga umat Islam menjadikanya
sebagai sumber utama dalam mempelajari, memahami, dan menjalankan ajaran
(syariat) Islam juga dalam mengambil dalil-dalil mengenai perkara-perkara atau
permasalahan-permasalahan yang ada kaitannya dengan keimanan dan amal ibadah
mereka.
Sedangkan sunnah (السنة) secara bahasa
bermakna (السيرة الحسنة أو
القبيحة): jalan hidup
yang baik atau jelek, juga bermakna (الطريقة): jalan.
Adapun secara istilah sunnah memiliki beberapa definisi,
diantaranya:
1. Sunnah menurut muhadditsun
(ahli hadits) adalah apa yang disandarkan kepada Rasulullah saw dari segi
perkataan atau perbuatan atau pengakuan atau sifat akhlak (peribadi) dari permulaan
diutusnya sampai wafatnya[8].
2. Sunnah menurut ulama usul
adalah perkataan-perkataan Rasulullah saw dan perbuatan-perbuatannya serta
pengakuan-pengakuannya yang diriwayatkan kepada kita dengan periwayatan yang
sahih[9].
Sunnah Rasul saw adalah sumber rujukan umat Islam kedua
setelah al-Qur'an, dimana kedudukannya dalam Islam adalah sesuatu yang tidak
dapat diragukan kerana terdapat penegasan yang banyak di dalam al Quran tentang
sunnah tersebut, bahkan di dalam beberapa tempat sunnah disebutkan bersamaan
dengan al Kitab ataupun al Quran, dan disebutkan juga ketaatan terhadap
Rasulullah saw setelah ketaataan kepada Allah swt. Hal ini sebagaimana yang
ditegaskan di dalam firman-Nya seperti:“Dan taatilah Allah dan RasulNya,
jika kamu adalah orang-orang yang beriman”[10].
Dan firman-Nya:“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak
(pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan RasulNya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain bagi urusan
mereka”[11].
Juga firman-Nya:“Apa yang diberikan Rasul kepada kamu, maka ambillah ia, dan
apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”[12].
Dengan penegasan al Quran di atas, jelaslah bahawa sunnah
tidak dapat dipisahkan penggunaannya di dalam segala hal yang berkaitan dengan
Islam. Sehingga fungsi sunnah di dalam Islam, diantaranya:
- Penguat
dan penyokong hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Quran seperti dalam
perkara pensyariatan shalat, puasa dan haji.
- Penghurai
dan pentafsir ayat-ayat al-Quran yang umum seperti memperjelaskan mengenai
tata cara perlaksanaan shalat, kaedah jual beli, menunaikan zakat dan haji
dan sebagainya yang mana perkara-perkara tersebut hanya disebutkan secara
umum oleh al-Quran.
- Menjadi
keterangan tasyri’ yaitu menentukan sesuatu hukum yang tidak disebutkan di
dalam al-Quran seperti dalam hal memakan haiwan yang ditangkap oleh hewan
pemburu terlatih seperti anjing yang mana buruan tersebut terdapat kesan
dimakan oleh hewan pemburu terlatih tadi dan kesan tersebut menunjukkan
bahwa hewan pemburu tadi menangkap buruan untuk dirinya sendiri. Di dalam
al-Quran hanya dibenarkan memakan buruan yang ditangkap oleh hewan pemburu
terlatih. Maka dalam hal ini, hadith menerangkan bahawa buruan yang
mempunyai kesan dimakan oleh hewan pemburu adalah haram dimakan.
- Menasakhkan
hukum yang terdapat di dalam al Quran. sebagian ulama berpandangan bahawa
hadith yang dapat menasakhkan hukum al Quran itu mestilah
sekurang-kurangnya bertaraf Mutawatîr, Masyhûr ataupun Mustafhîdh.
- Menerangkan
mengenai ayat yang telah dinasakh dan ayat mana yang telah dimansukhkan.[13]
b. 'Aqli
Kata 'aqli secara bahasa berasal dari kata bahasa
Arab (عقل):
akal yang mempunyai beberapa makna, di antaranya: (الدية): denda, (الحكمة):
kebijakan, dan (حسن
التصرف): tindakan yang
baik atau tepat[14].
Secara istilah akal memiliki beberapa definisi
diantaranya:
1. Cahaya nurani, yang dengannya jiwa bisa
mengetahui perkara-perkara yang penting dan fitrah[15].
2. Aksioma-aksioma
rasional dan pengetahuan-pengetahuan dasar yang ada pada setiap manusia.
3. Kesiapan
bawaan yang bersifat instinktif dan kemampuan yang matang.
Akal merupakan bagian dari indera dan insting yang ada dalam
diri manusia yang memiliki sifat berubah-rubah, yakni bisa ada dan bisa hilang.
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah saw dalam salah satu sabdanya:
"...dan termasuk orang gila sampai ia kembali berakal"[16].
Dan akal merupakan indera yang diciptakan oleh oleh Allah
swt dengan kelebihan diberikannya muatan tertentu berupa kesiapan dan kemampuan
yang dapat melahirkan sejumlah aktivitas pemikiran yang berguna bagi kehidupan
manusia yang telah dimuliakan Allah swt[17],
sebagaimana dalam firman-Nya: "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan
anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan"[18].
Oleh karena itu, syari’at Islam telah memberikan nilai dan
urgensi yang amat tinggi terhadap akal manusia, sebagaimana dapat dilihat pada
beberapa point berikut ini:
1. Allah mengkhususkan
penyampain kalam-Nya hanya kepada orang yang berakal, karena hanya mereka yang
dapat memahami agama dan syariat-Nya[19].
Allah swt berfirman: "…dan merupakan peringatan bagi orang-orang yang
mempunyai akal"[20].
2. Syarat utama yang harus ada
dalam diri manusia untuk dapat menerima taklif (beban kewajiban) dari
Allah swt yang berkenaan dengan hukum-hukum syari’at Islam adalah akal. Oleh
karena itu ketika ia kehilangan akalnya dikarenakan gila misalnya, maka ia
tidak tidak menerima taklif itu[21].
Rasulullah saw bersabda: "Pena (catatan pahala dan dosa) diangkat
(dibebaskan) dari tiga golongan; orang yang tidur sampai bangun, anak kecil
sampai bermimpi, orang gila sampai ia kembali sadar (berakal)"[22].
3. Allah swt mencela orang
yang tidak menggunakan akalnya. Misalnya celaan Allah terhadap ahli Neraka yang
tidak menggunakan akalnya[23].
Allah swt berfirman: "Dan mereka berkata: "Sekiranya kami
mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk
penghuni-penghuni Neraka yang menyala-nyala"[24].
4. Banyak disebutkan di dalam
al-Qur-an mengenai anjuran-anjuran Allah kepada manusia agar mempergunakan akalnya
untuk berfikir, seperti: tadabbur, tafakkur, ta-aqqul dan
lainnya. Diantaranya seperti kalimat: لعلكم تتفكرون (mudah-mudahan
kamu berfikir), أفلا
تعقلون(apakah kamu tidak
berakal) dan أفلا
يتدبرون القرآن (apakah mereka
tidak mentadabburi/merenungi isi kandungan al-Qur'an), dan lainnya[25].
5. Islam mencela hal-hal yang
dapat membatasi dan melumpuhkan fungsi dan kerja akal, seperti taqlid
buta yang hanya menerima pendapat orang lain tanpa dilandasi oleh dalil[26].
Kata 'Aqli ketika dihubungkan dengan kajian ilmu-ilmu
agama identik dengan dalil-dalil yang berdasarkan akal fikiran manusia yang sehat dan obyektif, tidak dipengaruhi oleh keinginan,
ambisi atau kebencian dari emosi.
Dan ketika 'Aqli dihubungkan secara khusus dengan
disiplin ilmu tafsir, maka disebut tafsir bi al-ma'qul atau bi
ar-ra'yi, yaitu penafsiran al-Qur'an yang lebih dititikberatkan kepada
kemampuan akal fikiran yang sehat dan obyektif (ijtihad) daripada disandarkan
kepada periwayatan-periwayatan. Dalam hal ini seorang mufassir akan menggunakan
kemampuan akalnya (ijtihadnya) dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu
qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur'an, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu
lain untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan
perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada, sehingga tersusunlah bentuk tafsir
yang sesuai dengan masa dimana mufassir tersebut hidup. Beberapa tafsir yang
terkenal dalam bentuk ini antara lain: Tafsir Al-Jalalain, Tafsir Ar-Razi,
Tafsir Al-Baidhawi, dll[27].
2.
Contoh-contoh penggunaan naqli dan 'aqli
a. Contoh penggunaan naqli dan 'aqli
dalam bidang tauhid, yang ada kaitannya dengan iman kepada kitab-kitab Allah swt[28]
a.1 Dalil Naqli:
Al-Qur’an:
وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ
وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ
Artinya: "Dan mereka yang beriman kepada Kitab
(Al Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah
diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat"[29].
Hadits Nabi saw:
فأخبرني عن الإيمان. قال:(أن تؤمن بالله وملائكته
وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره)
Artinya: "Beritahukan aku tentang Iman. Lalu beliau
bersabda: "Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada
takdir yang baik maupun yang buruk"[30].
a.2 Dalil 'Aqli:
Allah swt 'Alimun (Maha Tahu) bahwa manusia adalah
makhluk yang dha’if (lemah). Sedangkan Allah SWT adalah Tuhan yang Rahman
(Maha Pengasih) dan Rahim (Maha Penyayang). Atas hal itulah Allah swt
berkehendak memberikan bimbingan kepada manusia agar tetap menjadi makhluk paling
mulia di sisi-Nya dengan memberikan pedoman berupa kitab suci lengkap dengan
uswah hasanah (contoh tauladan) yang berupa seorang Nabi dan Rasul.
b. Contoh
penggunaan naqli dan 'aqli dalam bidang fikih, yang ada kaitannya dengan larangan nikah mut'ah[31]
a.1 Dalil Naqli:
Al-Qur’an:
والذين هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ. إِلاَّ على
أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ
Artinya: "Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki"[32].
Hadits Nabi saw:
ما رواه ابن ماجة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم
حرّم المتعة فقال : «يا أيها الناس إني كنت أذنت لكم في الاستمتاع، ألا وإن الله
قد حرمها إلى يوم القيامة»
Artinya: "Diriwayatkan oleh Ibnu Majah bahwasanya
Rasulullah saw telah mengharamkan mut'ah, maka ia bersabda: "Wahai manusia
sesungguhnya dulu aku telah mengizinkan kalian bermut'ah, (tetapi mulai
sekarang) tidaklah begitu sesungguhnya Allah swt mengharamkannya sampai hari
kiamat".
ما رواه مالك عن الزهري بسنده عن علي كرم الله
وجهه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن متعة النساء
Artinya: "Diriwayatkan oleh Malik dari Az-Zahri
dengan sanadnya dari Ali karramallahu wajhah bahwasanya Rasulullah saw
telah melarang menikahi wanita secara mut'ah".
a.2 Dalil 'Aqli:
Sesungguhnya nikah mut'ah itu tidak dimaksudkan untul
apa-apa kecuali hanya untuk memenuhi syahwat, tidak pula dimaksudkan untuk
beranak cucu, memelihara anak-anak yang semua itu merupakan maksud dari
pernikahan, maka mut'ah itu mirip dengan zina dari segi maksud untuk memenuhi
syahwat saja dan mengeluarkan air mani.
c. Contoh penggunaan naqli dan 'aqli
dalam bidang tafsir, yang ada kaitannya dengan penafsiran ayat pertama dari
surat Al-Insyiqaaq (terbelah), yaitu berbunyi: إِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ (Apabila langit terbelah)
a.1 Tafsir bi al-manqul (bi
al-ma'tsur):
Al-Alusi menafsirkan ayat ini dengan
ayat lain dan dengan menyandarkan kepada pwriwayatan-periwayatan, sebagaimana
ia sebutkan di dalam tafsirnya, yaitu:
"(إذا
السماء انشقت):
"Apabila langit terbelah" yakni (بالغمام):
berawan (berkabut putih), seperti yang di riwayatkan Ibnu Abas, yang diikuti
oleh Al-Farra da Az-Zujaj di dalam "Al-Bahr" dan ia menguatkannya
dengan firman Allah: (ويوم
تشقّقُ السماء بالغمام):
"Dan (ingatlah) hari (ketika) langit pecah belah mengeluarkan kabut
putih"[33],
maka al-Qur'an sebagiannya menafsirkan sebagian yang lain, dan dikatakan bahwa
langit itu terbelah karena kedahsyatan hari kiamat, sebagaiman firman Allah: (وانشقت السماء فهي يومئذ واهية): "Dan
terbelahlah langit, karena pada hari itu langit menjadi lemah"[34].. dan Ibnu Hatim telah meriwayatkan dari
Ali karramallahu wajhah bahwasanya langit terlepas dari galaksi, dan
didalam atsar (riwayat sahabat) disebutkan bahwa hal itu (langit
terbelah itu) menunjukan terbukanya pintu langit..."[35].
a.2 Tafsir bi al-ma'qul (bi ar-ra'yi):
Muhammad Abduh menafsirkan ayat ini dengan argumen akal
yang didasarkan pada pengetahuan dan penelitian ilmiah.
Maka ia memandang bahwa insyiqaaq as-samaa
maknanya bisa berupa satu kejadian besar dari sekian kejadian-kejadian yang
berhubungan dengan tata surya, seperti kejadian lewatnya sebuah bintang
dekat dengan bintang lainnya yang menimbulkan gaya tarik menarik dan
menyebabkan terjadinya benturan antara keduanya. Karena benturan tersebut, maka tata surya mengalami
goncangan yang kuat. Sehingga munculah di langit awan dan kabut yang datang
dari berbagai arah. Maka langitpun terbelah oleh awan dan kabut tersebut. Hal
ini kemudian mengakibatkan rusaknya peredaran tata surya[36].
3. Masalah
pertentangan antara naqli dan 'aqli dalam bidang tauhid
Ketika kita menelusuri sejarah ilmu kalam atau
ilmu Tauhid, maka kita akan menemukan bahwa penggunaan dalil naqli dan
dalil 'aqli, sebelum munculnya faham Asy’ari sangat kontradiktif. Dimana
kelompok salaf dan qaramatiyah, sangat mengutamakan dalil naqli dan
meremehkan dalil 'aqli, sedangkan kelompok Mu’tazilah yang dipelopori
oleh Wasil bin Atha’ sangat mengutamakan dalil 'aqli dari pada dalil
naqli, begitu juga kelompok Al-Maturidiyah memandang bahwa akal dapat
mengetahui baik buruknya perkara dan bahwa mengetahui Allah itu dengan akal
atau dengan kata lain bahwa akal itu merupakan alat untuk mengetahui Allah.
Kemudian setelah imam Asy'ari muncul, kedua dalil itu di kumpulkan olehnya
dengan secara paralel atau saling menguatkan.
Dalam hal ini Imam al-Ghazali menegaskan bahwa
akal memerlukan dalil naqli dan dalil naqli memerlukan akal. Oleh karena
itu ia memandang bahwa bertaqlid atau menerima kepada pendapat orang tanpa
mempergunakan akal sama sekali adalah suatu kebodohan, begitu juga mencukupkan
akal saja tanpa memerlukan sinar wahyu Ilahi dan sunnah nabi adalah suatu
tipuan belaka. Maka menurutnya jauhilah model seperti ini dan hendaklah
mempergunakan atau menggabungkan kedua dasar pokok ini (naqli dan 'aqli),
karena sesungguhnya "ilmu logika dan filsafat itu seperti makanan, dan
ilmu-ilmu syara' itu adalah obat"[37].
Ibnu Taimiyah melihat bahwa apabila dikatakan
bahwa dua dalil saling bertentangan, baik kedua-duanya itu naqli atau
kedua-duanya 'aqli atau salah satunya naqli dan yang lainnya 'aqli,
maka yang harus dikatakan (ditetapkan) adalah bahwa hal tersebut tidak terlepas
dari tiga pilihan, yaitu: kedua-duanya qath'i (pasti atau absolut), atau
kedua-duanya dzanni (relatif atau dugaan), atau salah satunya qath'i
dan yang lainnya dzanni.
Apabila kedua-duanya itu qath'i, maka
tidak boleh ada pertentangan, baik kedua-duanya itu 'aqli atau
kedua-duanya naqli atau salah satunya 'aqli dan yang lainnya naqli.
Ini merupakan kesepakatan para ulama, karena dalil qath'i adalah dalil
atau petunjuk yang mengharuskan adanya ketetapan pada madlulnya (yang
ditunjukannya), dan dalalahnya (tanda penunjuknya) tidak mungkin bathil.
Dalam hal ini apabila kedua dalil qath'i saling bertentangan dan salah
satunya menentang madlul yang lainnya, maka kedua-duanya mesti bersatu,
dan ini tidaklah mungkin, bahkan setiap dalil yang diyakini bertentangan dengan
dalil yang diyakini qath'i maka kedua dalil tersebut atau salah satunya
haruslah bukan qath'i atau kedua madlulnya saling bertentangan.
Dan apabila salah satu dari kedua dalil yang
saling bertentangan itu qath'i tanpa yang lainnya, maka yang qath'i
haruslah di dahulukan, sebagaimana kesepakatan para ulama, baik dalil itu naqli
ataupun 'aqli, karena yang dzanni tidak sampai kepada tahapan
yakin.
Adapun apabila kedua-duanya dzanni, maka
hal ini harus di bawa ke ranah tarjih, mana dari keduanya yang paling rajih
maka didahulukan, baik dalil itu naqli ataupun 'aqli[38].
Sedangkan Muhammad Abduh, salah seorang ulama yang termasuk pembaharu agama dan sosial
di Mesir pada zaman modern, disatu sisi berpandangan
seperti pandangannya Ibnu Taimiyah, bahwa antara naqli dan 'aqli
tidak mungkin bertentangan. Namun ketika didapat ada pertentangan antara
keduanya, Abduh memilih yang benar menurut 'Aqli, sehingga tampak
dihadapannya dua jalan: tunduk kepada kebenaran wahyu dengan mengakui
ketidakmampuan dalam memahaminya dan menyerahkan perkara tersebut kepada Allah
swt, atau mena’wilkan wahyu dengan memperhatikan kaedah-kaedah bahasa sehingga
ada persesuian antara maknanya dengan apa yang telah ditetapkan oleh akal[39].
Secara ringkas pandangan jumhur ulama tentang pertentangan
antara naqli dan 'aqli dalam bidang tauhid adalah sebagai berikut[40]:
1. Naqli didahulukan atas 'aqli,
karena naqli itu ma’shum sedang 'aqli tidak ma’shum.
2. Akal mempunyai kemampuan mengenal dan
memahami yang bersifat global, tidak bersifat detail.
3. Apa yang benar dari hukum-hukum akal pasti
tidak bertentangan dengan naqli.
4. Apa yang salah dari pemikiran akal adalah apa
yang bertentangan dengan naqli.
5. Penentuan hukum-hukum tafshiliyah
(terinci seperti wajib, haram dan seterusnya) adalah hak prerogatif syari'at (naqli).
6. Akal tidak dapat menentukan hukum tertentu
atas sesuatu sebelum datangnya wahyu, walaupun secara umum ia dapat mengenal
dan memahami yang baik dan buruk.
7. Balasan atas pahala dan dosa ditentukan oleh naqli.
Allah swt berfirman: "Kami tidak akan meng‘adzab sehingga Kami mengutus
seorang Rasul"[41].
8. Janji Surga dan ancaman Neraka sepenuhnya
ditentukan oleh naqli.
9. Tidak ada kewajiban tertentu terhadap Allah
swt yang ditentukan oleh akal kita kepada-Nya, karena Allah swt mengatakan
tentang diri-Nya: "Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya"[42].
C.
PENUTUP
Naqli dan 'Aqli
merupakan dua landasan pokok yang harus di pegang oleh setiap Muslim di ketika mengungkap dan membuktikan
kebenaran-kebenaran dan memantapkan keteguhan dalam
berkeyakinan yang ada di dalam ruang lingkup disiplin ilmu Tauhid atau
akidah, atau ketika mengistinbath (mengambil dalil-dalil) dan menetapkan
hukum-hukum perkara-perkara yang ada di dalam ruang lingkup disiplin ilmu
fikih, atau ketika menafsirkan al-Qur'an.
Naqli secara
istilah identik dengan dalil-dalil yang di nukil atau di ambil dari Kitab Allah
yang Maha Mulya dan dari sunnah yang suci atau dalil-dalil yang diriwayatkan
kepada kita oleh naqalah al-hadist dan perawi-perawi. Keidentikan ini
selaras dengan kebutuhan ilmu Tauhid terhadap dalil-dalil yang bisa memberantas dan mengikis segala keragu-raguan atau
kepercayaan yang lemah, sehingga muncul keteguhan, keyakinan dan kepercayaan
yang kuat, tidak mudah goyah atau mendangkal.
Namun keidentikan ini tidak menutup bidang ilmu
lain untuk berpegang kepada naqli, justru setiap kajian-kajian ilmu
agama Islam tidak terlepas dari naqli, seperti dalam bidang fikih dan
tafsir, dimana seorang fakih ketika ingin menetapkan hukum suatu perkara ia
membutuhkan naqli, begitu juga mufassir ketika ingin menafsirkan
ayat-ayat al-Qur'an ia memerlukan bantuan naqli, sehingga muncullah
istilah tafsir bi al-manqul atau bi al-ma'tsur.
Sedangkan 'aqli identik dengan dalil-dalil yang berdasarkan akal fikiran
manusia yang sehat dan obyektif, tidak dipengaruhi
oleh keinginan, ambisi atau kebencian dari emosi.
Dan akal merupakan bagian dari indera dan insting yang
ada dalam diri manusia diciptakan oleh oleh Allah swt dengan kelebihan
diberikannya muatan tertentu berupa kesiapan dan kemampuan yang dapat
melahirkan sejumlah aktivitas pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia
yang telah dimuliakan Allah swt.
Jumhur ulama memandang bahwa antara naqli dan 'aqli tidak bertentangan, tetapi saling menguatkan. Namun ketika
diyakini antara keduanya ada pertentangan, maka para ulama berbeda pendapat
antara mendahulukan naqli atau 'aqli, dan jumhur memilih naqli.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahim
Said, Dr. Himam. At-Tamhid Fi Usul Al-Hadist, 'Amman: Dar
Al-Furqan, 1992.
Al-Buraikan,
Dr. Ibrahim bin Muhammad. Al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah
‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Daarus Sunnah, 1414 H.
Asrukin,
M.Si., Drs. Mochammad. Tafsir al-Qur'an: Sebuah Tinjauan Pustaka,
Makalah.
Az-Zaqlam,
Fatih Muhammad. Usul Al-Ahkam, Tripoli: Dar Al-Fasifsa, 2006.
http//id.wikipedia/wiki.
http//latifabdullah.files.wordpress.com.
http//nyimpanilmu.blogspot.com/2011/01/dalil-naqli-dalil-aqli.
Taimiyah,
Ibnu. Dar'u Ta'aarudh Al-'Aql Wa An-Naql, Ar-Riyadh: Dar Al-Kunuz
Al-Adabiyah, 1391 H.
Ash-Shobuniy,
M. Ali. At-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Alam al-Kutub, 1985.
Ash-Shobuniy,
M. Ali. Rawaai' Al-Bayan Tafsir Ayat Al-Ahkam, Al-Maktabah
Asy-Syaamilah.
Al-Alusi,
Mahmud Bin Abdullah Al-Husaini. Ruh Al-Ma'aani Fi Tafsir Al-Qur'an
Al-'Adzim Wa As-Sab'u Al-Matsaani, Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Anas,
Malik Bin. Al-Muwaththa, Muassasah Zaaid bin Sulthan Aal nahyaan,
2004.
Al-Qathaan,
Manaa'. Mabahits Fi Ululm Al-Qur'an, Maktabah Al-Ma'aarif, 2000.
Abduh,
Muhammad. Al-Islam Wa An-Nashraniah.
Abduh,
Muhammad. Tafsir Al-Qur'an Al-Karim: Juz Amma, Daru Wa Mathabi'
Al-Sya'b.
Al-Jaamii,
Muhammad Amaan Bin Ali. Al-'aqlu Wa An-Naqlu 'Inda Ibni Rusydi,
Al-maktabah Asy-Syamilah.
Jawas,
Yazid bin Abdul Qadir. Dalil ‘Aqli Yang Benar Akan Sesuai Dengan Dalil Naqli
Yang Shahih (terj), Al-Manhaj.or.id.
[1]
Muhammad Amaan Bin Ali Al-Jaamii, Al-'aqlu Wa An-Naqlu 'Inda Ibni Rusydi,
Al-maktabah Asy-Syamilah, hal. 3.
[14] Dr.
Ibrahim bin Muhammad al-Buraikan, Al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil
Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Daarus Sunnah, 1414
H, cet. II, hal. 40.
[17] Yazid
bin Abdul Qadir Jawas, Dalil ‘Aqli Yang Benar Akan Sesuai Dengan Dalil
Naqli Yang Shahih (terj), Al-Manhaj.or.id.
[19] Dr.
Ibrahim bin Muhammad al-Buraikan, Al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil
Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah, op. cit., hal. 40.
[31]
Muhammad Ali Shabuni, Rawaai' Al-Bayan Tafsir Ayat Al-Ahkam,
Al-Maktabah Asy-Syaamilah, hal. 209.
[35] Mahmud
Bin Abdullah Al-Husaini Al-Alusi, Ruh Al-Ma'aani Fi Tafsir Al-Qur'an
Al-'Adzim Wa As-Sab'u Al-Matsaani, Al-Maktabah Asy-Syamilah, ji. 22,
hal. 291.
[38] Ibnu
Taimiyah, Dar'u Ta'aarudh Al-'Aql Wa An-Naql, Ar-Riyadh: Dar Al-Kunuz
Al-Adabiyah, 1391 H, jil. I, hal. 49.
[40] Dr.
Ibrahim bin Muhammad al-Buraikan, Al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil
Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah, op. cit., hal. 45.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar