1.
PPh Pasal 23
Ruang Lingkup Pemotongan PPh Pasal 23
Pada dasarnya pengenaan Pajak Penghasilan
Pasal 23 baru bisa dilakukan jika telah memenuhi ruang lingkup pengenaan, yaitu
pemberi penghasilan memenuhi kriteria sebagai pemotong PPh Pasal 23, penerima
penghasilan memenuhi kriteria sebagai pihak
yang dipotong PPh Pasal 23 dan jenis penghasilan yang dibayarkan adalah
termasuk penghasilan-penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23.
Pengertian PPh Pasal 23
Pajak yang dipotong atas penghasilan yang
berasal dari deviden, bunga, royalty, sewa, dan penghasilan lain atas
penggunaan harta dan imbalan jasa teknik / manajemen dan jasa lainnya.
Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23
Berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (1)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (Undang-undang Pajak Penghasilan 1984),
pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah :
a.
Badan Pemerintah
Tidak ada
penjelasan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan tentang arti Badan Pemerintah
ini. Namun demikian, tidak sulit untuk mengartikan bahwa yang dimaksud dengan
Badan Pemerintah adalah Pemerintah negara Republik Indonesia dan Pemerintah
Daerah di Indonesia beserta instansi-instansi di bawahnya. Dalam prakteknya,
pemotongan PPh Pasal 23 oleh instansi pemerintah dilakukan oleh bendahara
pemerintah.
b.
Subjek Pajak Badan dalam negeri
Berdasarkan Pasal
2 ayat (3) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, subjek pajak badan
dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Istlah didirikan mengandung arti bahwa badan tersebut didirikan berdasarkan
ketentuan hukum di Indonesia. Sementara itu istilah bertempat kedudukan
menunjukkan bahwa badan tersebut memiliki efektif manajemen di Indonesia di
mana pengambilan keputusan-keputusan penting tentang badan tersebut dilakukan
di Indonesia.
Pengertian badan
sendiri berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan
1984 adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik
yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara
atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma,
kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi
massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk
badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap
c.
Penyelenggara kegiatan
Penyelenggara
kegiatan bisa berbentuk badan, orang pribadi atau kepanitiaan yang melakukan
suatu event atau kegiatan. Contoh penyelenggara kegiatan
adalah orang pribadi atau badan yang mengorganisir suatu acara seperti
pertunjukkan, perlombaan, seminar dan lain-lain.
d.
Bentuk Usaha Tetap (BUT)
BUT adalah bagian
dari Subjek Pajak luar negeri yang melakukan kegiatan di Indonesia sehingga
menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Walaupun
termasuk Wajib Pajak luar negeri, pemenuhan hak dan kewajiban BUT disamakan
dengan pemenuhan hak dan kewajiban Wajib Pajak dalam negeri.
Pengertian BUT
bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu
bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal
di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa tempat
kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor,
pabrik, bengkel dan lain-lain.
e.
Perwakilan Perusahaan Luar Negeri
Lainnya
Perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya selain BUT yang ada di Indonesia juga merupakan
pemotong PPh Pasal 23. Contohnya adalah Representative Office (RO)
dari perusahaan-perusahaan asing.
Pihak
Yang Dipotong PPh Pasal 23
Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, penerima
penghasilan yang dapat dipotong PPh Pasal 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri
dan Bentuk Usaha Tetap. Dengan demikian, pihak
yang dipotong PPh Pasal 23 bisa Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri ataupun
Wajib Pajak badan dalam negeri. Ini berarti bahwa jika penerima penghasilan
adalah Wajib Pajak luar negeri, kecuali BUT, maka PPh Pasal 23 tidak bisa
dikenakan.
Penghasilan
Yang Dipotong PPh Pasal 23
Hal ketiga yang menjadi ruang lingkup pemotongan PPh Pasal 23 adalah bahwa
penghasilan yang diterima oleh penerima penghasilan adalah jenis penghasilan
yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23. Jenis-jenis penghasilan ini diatur
dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a dan huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan,
yaitu :
- dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) huruf g Undang-undang Pajak Penghasilan 1984;
- bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) huruf f Undang-undang Pajak Penghasilan 1984;
- royalti;
- hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya
selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (1) huruf e Undang-undang Pajak Penghasilan 1984;
- sewa
dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak
Penghasilan; dan
- imbalan
sehubungan
dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan
jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21.
Khusus
untuk jasa konstruksi, sehubungan dengan pengenaan Pajak Penghasilan final
Pasal 4 ayat (2) terhadap semua jenis jasa konstruksi berdasarkan ketentuan
Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 51 Tahun 2008 dan perubahannya, maka imbalan jasa konstruksi tidak lagi
menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23.
Untuk
jenis jasa lain, Undang-undang Pajak Penghasilan, melalui Pasal 23 ayat (2),
memberikan wewenang kepada Menteri Keuangan untuk mengatur lebih lanjut tentang
jenis jasa lain ini dengan Peraturan Menteri Keuangan. Untuk itu Menteri
Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008
Tentang Jenis Jasa Lain Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c
Angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana
Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Penghasilan Yang Tidak
Dipotong PPh Pasal 23
Terkait dengan penghasilan yang menjadi objek
pemotongan PPh Pasal 23 ini, tidak boleh dilupakan bahwa terdapat pengecualian
penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23. Penghasilan-penghasilan yang tidak
dipotong PPh Pasal 23 ini dicantumkan dalam Pasal 23 ayat (4) Undang-undang
Pajak Penghasilan 1984. Berikut ini adalah penghasilan-penghasilan yang dikecualikan
dari pemotongan PPh Pasal 23.
1. Penghasilan yang
dibayar atau terutang kepada bank.
Pembayaran bunga ke
bank misalnya tidak dapat dipotong PPh Pasal 23. Bank akan melunasi Pajak
Penghasilannya melalui pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25.
2. Sewa yang dibayarkan
atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi.
Sama halnya dengan
bank, pelunasan Pajak Penghasilan perusahaan sewa guna usaha dengan hak opsi
akan dilakukan dengan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25.
3. Bagian laba
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i Undang-undang Pajak
Penghasilan.
Tidak termasuk objek Pajak Penghasilan
adalah bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan,
perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak
investasi kolektif. Oleh karena itu atas bagian laba seperti ini tidak
seharusnya dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23.
4. Sisa hasil usaha
koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
5. penghasilan yang
dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi
sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan
Menteri Keuangan
Ketentuan lebih lanjut
tentang hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 251/PMK.03/2008
tentang Penghasilan Atas Jasa Keuangan Yang Dilakukan Oleh Badan Usaha Yang
Berfungsi Sebagai Penyalur Pinjaman Dan/Atau Pembiayaan Yang Tidak Dilakukan
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23.
Berdasarkan ketentuan
ini, penghasilan sehubungan dengan jasa keuangan yang tidak dilakukan
pemotongan PPh Pasal 23 adalah berupa bunga atau imbalan lain yang diberikan
atas penyaluran pinjaman dan atau pemberian pembiayaan, termasuk yang
menggunakan pembiayaan berbasis syariah.
Badan usaha jasa
keuangan yang atas penghasilannya tidak dipotong PPh Pasal 23 ini terdiri dari
:
· perusahaan pembiayaan
yang merupakan badan usaha di luar bank dan lembaga keuangan bukan bank yang
khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha
lembaga pembiayaan dan telah memperoleh ijin usaha dari Menteri Keuangan;
· badan usaha milik
negara atau badan usaha milik daerah yang khusus didirikan untuk memberikan
sarana pembiayaan bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, termasuk PT
(Persero) Permodalan Nasional Madani.
tarif PPh 23
Apabila PPh Pasal 23
bisa dikenakan setelah memenuhi ruang lingkup sebagaimana sudah di jelaskan dalam
tulisan Ruang Lingkup Pemotongan PPh Pasal 23, maka pertanyaan
berikutnya adalah berapa besar PPh Pasal 23 yang harus dipotong? Untuk menjawab
pertanyaan ini, ada dua hal yang harus diperhatikan yaitu tarif pemotongan PPh
Pasal 23 dan dasar pengenaan PPh Pasal 23. Tarif PPh Pasal 23 sendiri mengenal
dua jenis tarif yaitu tarif 15% dari jumlah bruto dan tarif 2% dari jumlah
bruto.
PPh Pasal 23 Dengan Tarif 15%
Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan 1984,
atas beberapa jenis objek PPh Pasal 23 dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 dengan
tarif 15% dari jumlah bruto. Objek pemotongan PPh Pasal 23 yang dikenakan tarif
15% dari jumlah bruto ini adalah :
1. Dividen
Dividen merupakan
bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau
pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi. Pengertian
dividen ini mengacu kepada Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-undang Pajak
Penghasilan 1984.
Perlu ditegaskan bahwa
tidak semua dividen yang memenuhi definisi di atas adalah objek PPh Pasal 23.
Ada dividen yang juga bukan merupakan objek pajak sebagaimana diatur dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf f Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Terdapat juga
dividen yang merupakan objek pemotongan lain sebagaimana diatur dalam Pasal 17
ayat (2c) dan Pasal 26 ayat (1) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan 1984
2.
Bunga
Pengertian bunga merujuk kepada Pasal 4 ayat (1) huruf f Undang-undang
Pajak Penghasilan 1984 di mana dalam pengertian bunga termasuk juga premium,
diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
Seperti halnya dividen, tidak semua bunga juga menjadi objek pemotongan PPh
Pasal 23. Ada jenis bunga yang bukan merupakan objek pajak sehingga tidak boleh
dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf h
Undang-undang Pajak Penghasilan. Jenis bunga yang lain seperti bunga deposito
dan tabungan menjadi objek pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) final. Ada juga
bunga yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 26 jika penerimanya adalah Wajib
Pajak luar negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b
Undang-undang Pajak Penghasilan.
3.
Royalti
Berdasarkan penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf h Undang-undang Pajak
Penghasilan 1984, imbalan berupa royalti terdiri dari tiga kelompok, yaitu
imbalan sehubungan dengan penggunaan:
1.
hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek dagang,
formula, atau rahasia perusahaan;
- hak atas harta berwujud, misalnya hak
atas alat-alat industri, komersial, dan ilmu pengetahuan. Yang dimaksud
dengan alat-alat industri, komersial dan ilmu pengetahuan adalah setiap
peralatan yang mempunyai nilai intelektual, misalnya peralatan-peralatan
yang digunakan di beberapa industri khusus seperti anjungan pengeboran
minyak (drilling rig), dan sebagainya;
- informasi, yaitu informasi
yang belum diungkapkan secara umum, walaupun mungkin belum dipatenkan,
misalnya pengalaman di bidang industri, atau bidang usaha lainnya. Ciri
dari informasi dimaksud adalah bahwa informasi tersebut telah tersedia
sehingga pemiliknya tidak perlu lagi melakukan riset untuk menghasilkan
informasi tersebut. Tidak termasuk dalam pengertian informasi di sini
adalah informasi yang diberikan oleh misalnya akuntan publik,
ahli hukum, atau ahli teknik sesuai dengan bidang keahliannya, yang dapat
diberikan oleh setiap orang yang mempunyai latar belakang disiplin ilmu
yang sama.
Perlu diperhatikan bahwa untuk imbalan royalti ini ada kemungkinan juga
merupakan objek pemotongan PPh Pasal 26 jika penerima penghasilannya adalah
Wajib Pajak luar negeri.
4.
Hadiah, penghargaan, bonus dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 21.
Hadiah, penghargaan dan bonus sebenarnya merupakan objek pemotongan PPh
Pasal 21 juga. Namun harus diperhatikan bahwa ruang lingkup pemotongan PPh
Pasal 21 adalah bahwa penerima penghasilannya Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri. Apabila penerimanya adalah Wajib Pajak badan dalam negeri atau BUT,
maka PPh Pasal 21 tidak bisa diterapkan. Nah, untuk jenis Wajib Pajak tersebut
maka PPh Pasal 23 lah yang bisa diterapkan.
Contoh untuk kasus PPh Pasal 23 ini misalnya sebuah yayasan lingkungan
hidup memberikan penghargaan kepada perusahaan yang memiliki kepedulian kepada
lingkungan sekitarnya. Apabila bentuk penghargaan ini diberikan dalam bentuk
uang atau barang yang memiliki nilai naka penghargaan ini menjadi objek
pemotongan PPh Pasal 23 karena penerimanya adalah Wajib Pajak badan dalam
negeri. Besarnya PPh Pasal 23 adalah 15% dikalikan jumlah bruto nilai
penghargaan.
PPh Pasal 23 Dengan Tarif 2%
Berikut adalah jenis-jenis penghasilan
objek pemotongan PPh Pasal 23 yang dikenakan tarif PPh Pasal 23 2% dari jumlah
bruto.
a. Sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
Sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta merupakan penghasilan yang diterima atau diperoleh
sehubungan dengan kesepakatan untuk memberikan hak menggunakan harta selama
jangka waktu tertentu baik dengan perjanjian tertulis maupun tidak tertulis
sehingga harta tersebut hanya dapat digunakan oleh penerima hak selama jangka
waktu yang telah disepakati. Definisi ini ditegaskan dalam Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-35/PJ/2010 tentang Pengertian Sewa Dan
Penghasilan Lain Sehubungan Dengan Penggunaan Harta, Jasa Teknik, Jasa
Manajemen, Dan Jasa Konsultan Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1)
Huruf c Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang
Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
Perlu digarisbawahi bahwa tidak
termasuk dalam objek pemotongan PPh Pasal 23 adalah sewa tanah dan/atau
bangunan yang telah dikenakan PPh final berdasarkan Pasal 4 ayat (2)
Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.
b. Imbalan
sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan,
dan jasa lain
Jasa konstruksi telah dikenakan PPh
final Pasal 4 ayat (2) sehingga tidak lagi menjadi objek pemotongan PPh Pasal
23. Dengan demikian, dalam kelompok ini pada umumnya adalah imbalan jasa selain
dari imbalan jasa konstruksi.
Pengertian jasa teknik, jasa
manajemen, dan jasa konsultan dapat kita temui di Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak Nomor SE-35/PJ/2010 tentang Pengertian Sewa Dan Penghasilan Lain
Sehubungan Dengan Penggunaan Harta, Jasa Teknik, Jasa Manajemen, Dan Jasa
Konsultan Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
Jasa teknik merupakan pemberian jasa
dalam bentuk pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman dalam bidang
industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan yang dapat meliputi :
- pemberian
informasi dalam pelaksanaan suatu proyek tertentu, seperti pemetaan
dan/atau pencarian dengan bantuan gelombang seismik;
- pemberian
informasi dalam pembuatan suatu jenis produk tertentu, seperti pemberian
informasi dalam bentuk gambar-gambar, petunjuk produksi,
perhitungan-perhitungan dan sebagainya; atau
- pemberian
informasi yang berkaitan dengan pengalaman di bidang manajemen, seperti
pemberian informasi melalui pelatihan atau seminar dengan peserta dan
materi yang telah ditentukan oleh pengguna jasa.
Jasa manajemen merupakan pemberian
jasa dengan ikut serta secara langsung dalam pelaksanaan atau pengelolaan
manajemen. Sementara itu Jasa konsultan merupakan pemberian advice (petunjuk, pertimbangan, atau nasihat)
profesional dalam suatu bidang usaha, kegiatan, atau pekerjaan yang dilakukan
oleh tenaga ahli atau perkumpulan tenaga ahli, yang tidak disertai dengan
keterlibatan langsung para tenaga ahli tersebut dalam pelaksanaannya.
Untuk jasa lain, Undang-undang Pajak
Penghasilan, melalui Pasal 23 ayat (2), memberikan wewenang kepada Menteri
Keuangan untuk mengatur lebih lanjut tentang jenis jasa lain ini dengan
Peraturan Menteri Keuangan. Untuk itu Menteri Keuangan telah menerbitkan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 Tentang Jenis Jasa Lain
Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c Angka 2 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Beberapa Kali
Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Tarif PPh atas Jasa Konstruksi :
No.
|
Jenis kegiatan
|
Kualfikasi
|
Tarif
|
1.
|
Pelaksanaan Konstruksi
|
Kualifikasi usaha kecil
|
2%
|
2.
|
Pelaksanaan Konstruksi
|
Tidak memiliki kualifikasi usaha
|
4%
|
3.
|
Pelaksanaan Konstruksi diluar angka 1 dan 2
|
Kualifikasi usaha menengah dan besar
|
3%
|
4.
|
Perencanaan dan pengawasan konstruksi
|
Memiliki kualifikasi usaha
|
4%
|
5.
|
Perencanaan dan pengawasan konstruksi
|
Tidak memiliki kualifikasi
|
6%
|
Tarif 2% Atas
Imbalan Jasa Teknik, Jasa Manajemen, Jasa konsultasi, dan Jasa Lain
No.
|
Jenis Jasa ( Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 244/PMK.03/2008 )
|
1.
|
Jasa Penilai
|
2.
|
Jasa Aktuaris
|
3.
|
Jasa Akuntansi, pembukuan, atestasi laporan
keuangan
|
4.
|
Jasa Perancang ( Design )
|
5.
|
Jasa Pengeboran ( Drilling ) di
bidang penambangan minyak dan gas bumi ( MiGas ) kecuali yang dilakukan
oleh bentuk usaha tetap
|
6.
|
Jasa penunjang di bidang penambangan MiGas
|
7.
|
Jasa penambangan dan jasa penunjang di
bidang penambangan selain MiGas
|
8.
|
Jasa penunjang di bidang penerbangan
|
9.
|
Jasa penebangan hutan
|
10.
|
Jasa pengolahan limbah
|
11.
|
Jasa penyedia tenaga kerja ( outsourching
service )
|
12.
|
Jasa perantara dan atau kegenan
|
13.
|
Jasa di bidang perdagangan surat – surat
berharga, kecuali yang dilakukan oleh bursa efek
|
14.
|
Jasa kustodian / penyimpanan / atau
penitipan
|
15.
|
Jasa pengisian suara ( Dubbing ) dan
atau sulih suara
|
16.
|
Jasa mixing film
|
17.
|
Jasa sehubungan dengan software komputer,
termasuk perawatan, pemeliharaan, dan perbaikan
|
18.
|
Jasa instalasi / pemasangan mesin,
peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan atau TV kabel
|
19.
|
Jasa perawatan alat transportasi / kendaraan
dan atau bangunan
|
20.
|
Jasa maklon
|
21.
|
Jasa penyelidikan dan keamanan
|
22.
|
Jasa penyelenggaraan kegiatan atau event
organizer
|
23.
|
Jasa pengepakan
|
24.
|
Jasa penyediaan tempat dan atau waktu dalam
media massa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi
|
25.
|
Jasa pembasmian hama
|
26.
|
Jasa kebersihan / cleaning service
|
27.
|
Jasa catering atau tata boga
|
no
|
Jenis Penghasilan
|
Tarif PPh 23 - (bagi WP ber-NPWP) (%)
|
Tarif PPh 23 - (bagi WP yang tidak ber-NPWP)
(%)
|
|
1
|
Dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf g UU PPh
|
15%
dari Jumlah bruto |
30%
dari jumlah ruto |
|
2
|
Bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf f UU PPh;
|
15%
dari jumlah bruto |
30%
dari jumlah ruto |
|
3
|
Royalti
|
15%
dari jumlah bruto |
30%
dari jumlah bruto |
|
4.
|
Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain
yang telah dipotong PPh 21
|
15%
dari jumlah bruto |
30%
dari jumlah bruto |
|
5.
|
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta yang telah dikenai PPh Final pasal 4 (2)
|
2 %
dari jumlah bruto tidak termasuk PPN |
4% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
|
|
6.
|
Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa
manajemen, jasa konstruksi(*), jasa konsultan
|
2% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
|
4% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
|
|
7
|
Jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 yang telah ditetapkan oleh
Menteri Keuangan berdasarkan PMK-244/PMK.03/2008
|
2% dari Jumlah bruto tidak termasuk PPN
|
4% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
|
|
a.
|
Jasa penilai (appraisal);
|
|||
b.
|
Jasa aktuaris;
|
|||
c.
|
Jasa akuntansi, pembukuan, dan asestasi laporan
keuangan;
|
|||
d
|
Jasa perancang (design);
|
|||
e
|
Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan
minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap;
|
|||
f
|
Jasa penunjang di bidang penambangan migas :
|
|||
g
|
Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang
penambangan selain migas :
|
|||
h
|
Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar
udara:
|
|||
i
|
Jasa penebangan hutan;
|
|||
j
|
Jasa pengolahan limbah;
|
|||
k
|
Jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing services);
|
|||
l
|
Jasa perantara dan/atau keagenan;
|
|||
m
|
Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga,
kecuali yang dilakukan oleh Bursa Efek, KSEI dan KPEI;
|
|||
n
|
Jasa custodian/penyimpanan/penitipan, kecuai ayng
dilakukan oleh KSEI;
|
|||
o
|
Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara
|
|||
p
|
Jasa mixing film;
|
|||
q
|
Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk
perawatan, pemeliharaan dan perbaikan;
|
|||
r
|
Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik,
telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib
Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau
sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
|
|||
s
|
Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin,
perawatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV Kable, alat
transportasi/kendaraan dan/atau bangunan selain yang dilakukan oleh Wajib
Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau
sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
|
|||
t
|
Jasa maklon; yaitu jasa pemberian jasa dalam
rangka proses penyelesaian suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya
dilakukan oleh pihak pemberi jasa (disubkontrakkan), yang spesifikasi, bahan
baku dan atau barang setengah jadi dan atau bahan penolong/pembantu yang akan
diproses sebagian atau seluruhnya disediakan oleh pengguna jasa, dan
kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna jasa
|
|||
u
|
Jasa penyelidikan dan keamanan;
|
|||
v
|
Jasa penyelenggara kegiatan atau event
organizer; yaitu kegiatan usaha yang dilakukan oleh pengusaha jasa
penyelenggara kegiatan meliputi antara lain penyelenggaraan pameran, konvensi,
pagelaran musik, pesta, seminar, peluncuran produk, konferensi pers, dan
kegiatan lain yang memanfaatkan jasa penyelenggara kegiatan
|
|||
w
|
Jasa pengepakan;
|
|||
x
|
Jasa penyediaan tempat dan / atau waktu dalam media
masa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi;
|
|||
y
|
Jasa pembasmian hama;
|
|||
z
|
Jasa kebersihan atau cleaning service;
|
|||
aa
|
Jasa catering atau tata boga
|
|||
Tatacara Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 23
Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 memiliki kewajiban
melakukan penyetoran PPh Pasal 23 ke kas negara atas PPh Pasal 23 yang dipotong
dari penerima penghasilan. Terhadap penerima penghasilan yang dipotong PPh
Pasal 23 kepadanya diberikan bukti pemotongan PPh Pasal 23. Atas pemotongan
yang telah dilakukan salam suatu masa pajak, Wajib Pajak sebagai pemotong pajak
wajib melakukan pelaporan pemotongan PPh Pasal 23 yang telah dilakukan.
Pelaporan dilakukan dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh
Pasal 23.
1. Tatacara
Penyetoran PPh Pasal 23
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 80/PMK.03/2010 tanggal 1 April 2010 yang merupakan perubahan atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007, PPh Pasal 23 yang dipotong
oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran
pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur
nasional, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya. Dalam pengertian hari libur nasional termasuk hari yang diliburkan
untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti
bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Pembayaran dan penyetoran pajak harus dilakukan dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang
disamakan dengan Surat Setoran Pajak. SSP ini berfungsi sebagai bukti
pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran
yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi. SSP dianggap sah jika
telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). Adapun tempat
pembayaran adalah Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan
sebagai tempat pembayaran pajak.
2. Tatacara Pelaporan PPh
Pasal 23
Pemotong PPh Pasal 23 wajib memberikan tanda bukti
pemotongan PPh Pasal 23 kepada orang pribadi atau badan yang dipotong setiap
melakukan pemotongan atau pemungutan. Bagi penerima penghasilan, bukti
pemotongan PPh Pasal 23 ini adalah bukti pelunasan PPh terutang dalam tahun
tersebut yang nantinya akan dikreditkan dalam SPT Tahunannya.
Apabila masa pajak telah berakhir, pemotong PPh Pasal 23
wajib melaporkan pemotongan yang telah dilakukan dalam masa pajak tersebut. Pelaporan
ini dilakukan dengan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23/26 ke Kantor Pelayanan
Pajak tempat Wajib Pajak pemotong PPh Pasal 23 terdaftar.
Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23/26 harus
disampaikan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
Contoh, untuk pemotongan PPh Pasal 23 bulan Oktober 2010, SPT Masa PPh Pasal 23
harus disampaikan paling lambat tanggal 20 Nopember 2010.
Dalam hal batas akhir pelaporan di atas bertepatan dengan
hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pelaporan dapat
dilakukan pada hari kerja berikutnya. Pengertian hari libur nasional termasuk
hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh
Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Soal-soal :
1.
PT.Solusindo membayarkan deviden kepada Tn.
Bonar Napitupulu pada bulan Juni 2006 sebesar Rp. 20.000.0000. PPh Pasal 23
dipotong PT.Solusindo adalah :
PPh
pasal 23 = 15% x Bruto
= 15% x Rp 20.000.000 = Rp. 3.000.000
2. Pada
tanggal 10 May 2008, PT. Sukses Gemilang, membagikan dividen masing-masing Rp
10,000,000 kepada 20 pemegang sahamnya. Atas dividen yang dibagikan, PT. Sukses
Gemilang wajib memungut PPh Pasal 23.
·
PPh Pasal 23 = Tarif x Jumlah Bruto = 15% x 10,000,000
PPh
Pasal 23 = Rp 1,500,000
·
Total PPh Pasal 23 yang dipotong (untuk 20 orang) = 20 x Rp 1,500,000
Total
PPh Pasal 23 yang dipotong (untuk 20 orang) = Rp 30,000,000
3.
PT Terang mengikat kontrak dengan PT Garmindo untuk pembuatan seragam kantor PT
Terang berdasarkan model dan spesifikasi yang telah ditentukan oleh PT Terang.
Dalam kontrak disepakati bahwa PT Terang akan menyediakan bahan baku utama
berupa kain dan PT Garmindo akan menyediakan bahan tambahan. Imbalan yang
disepakati atas kontrak tersebut adalah sebesar Rp 25.000.000,- tidak termasuk
biaya bahan tambahan. PT Garmindo mengeluarkan biaya sebesar Rp 5.000.000,-
untuk bahan tambahan.
Rincian
tagihan PT Garmindo kepada PT Terang:
Biaya
untuk bahan tambahan …………………… Rp. 5.000.000,-
Imbalan
Jasa maklon……………………………… Rp. 25.000.000,-
Jawab :
Atas
pembayaran yang dilakukan PT. Terang kepada PT. Garmindo dipotong PPh Pasal 23
oleh PT. Terang sebesar:
2% x Rp. 25.000.000,- = Rp. 500.000,-
Dalam
hal tidak ada bukti pendukung atas rincian tagihan di atas maka jumlah bruto
sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 23 adalah sebesar Rp. 30.000.000,- sehingga
PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT. Terang atas pembayaran kepada PT.
Garmindo adalah sebesar: 2% x Rp. 30.000.000,- = Rp. 600.000,-
2.
PPh Pasal 25
A. Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 25
Pajak penghasilan pasal 25 mengatur tentang besarnya angsuran pajak dalam
tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
untuk setiap bulan.
B. Cara menghitung besarnya
angsuran pajak
Besarnya angsuran pajak adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang
menurut Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi
dengan :
- Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23
serta Pajak Penghasilan yang dipungut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
- Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri
yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, dibagi
12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
C. Penghitungan besarnya angsuran pajak
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya
angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, sebagai
berikut :
- Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian
- Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur
- Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu
disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan
- Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
- Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih
besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan
- Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
D. Wajib Pajak yang berhak atas kompensasi kerugian
·
Dasar penghitungan Pajak
Penghasilan adalah jumlah penghasilan neto menurut Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu setelah dikurangi dengan kompensasi
kerugian.
- Dalam hal Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak
yang lalu atau dasar penghitungan lainnya menyatakan rugi (lebih bayar
atau nihil), besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah nihil.
Contoh perhitungan pajak bagi wajib pajak yang
berhak atas kompensasi kerugian :
Penghasilan PT Dira tahun 2001
Rp. 150.000.000,00. Sisa kerugian tahun lalu yang masih dapat dikompensasikan
adalah Rp. 200.000.000,00. Sisa kerugian yang belum dikompensasikan tahun 2001
Rp. 50.000.000,00.
Penghitungan PPh Pasal 25 tahun 2002 :
— Penghasilan yang dipakai
sebagai dasar penghitungan angsuran PPh Ps 25 adalah Rp 150.000.000,00 –
Rp 50.000.000,00 = Rp 100.000.000,00
— PPh Terutang (UU 36/2008) :
5% x Rp. 50.000.000,00 =
Rp. 2.500.000,00
15% x Rp. 50.000.000,00 =
Rp. 7.500.000,00
PPh terutang =
Rp. 10.000.000,00
E. Wajib Pajak dengan Penghasilan Tidak Teratur
- Dasar penghitungan Pajak Penghasilan adalah jumlah penghasilan neto
menurut Surat Pemberitahuan Tahunan, Pajak Penghasilan tahun pajak yang
lalu setelah dikurangi dengan penghasilan tidak teratur yang dilaporkan
dalam Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut.
- Contoh :
Pada 2001 Abbas memperoleh penghasilan teratur Rp 12.000.000,00, sedangkan
penghasilan tidak teratur Rp 8.000.000,00.
Penghasilan yg dipakai sbg dasar penghitungan PPh Pasal 25 pada tahun 2002
Abbas adalah hanya dari PPh teratur saja, yaitu Rp. 12.000.000,00.
F. Wajib Pajak yang Melakukan Pembetulan SPT
- Pajak Penghasilan Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan Surat
Pemberitahuan Tahunan, Pembetulan tersebut dan berlaku surut mulai bulan
batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan.
- Apabila besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 setelah pembetulan Surat
Pemberitahuan Tahunan lebih besar dari Pajak Penghasilan Pasal 25 sebelum
dilakukan pembetulan, atas kekurangan setoran Pajak Penghasilan Pasal 25
terutang bunga sesuai ketentuan PasaI 19 ayat (1) Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan untuk jangka waktu yang dihitung sejak jatuh tempo
penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 25 dari masing‑masing bulan sampai
dengan tanggal penyetoran
- Apabila besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 setelah pembetulan Surat
Pemberitahuan Tahunan Iebih kecil dari Pajak Penghasilan Pasal 25 sebelum
pembetulan, atas kelebihan setoran Pajak Penghasilan Pasal 25 dapat
dipindahbukukan ke Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan‑bulan berikut setelah
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pembetulan
G. Wajib Pajak Yang Mendapat Perpanjangan Penyampaian SPT
- Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan‑bulan mulai batas
waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai dengan bulan sebelum
disampaikannya Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut adalah sama
dengan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 yang dihitung berdasarkan Surat
Pemberitahuan Tahunan sementara yang disampaikan Wajib Pajak pada saat
mengajukan permohonan ijin perpanjangan.
- Apabila sesudah 3 bulan atau lebih berjalannya suatu tahun pajak,
Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa Pajak Penghasilan yang akan terutang
untuk tahun pajak tersebut kurang dari 75% dari Pajak Penghasilan yang
terutang yang menjadi dasar penghitungan besarnya Pajak Penghasilan Pasal
25, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan besarnya Pajak
Penghasilan Pasal 25 secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
tempat Wajib Pajak terdaftar.
- Pengajuan permohonan pengurangan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25
harus disertai dengan penghitungan besarnya Pajak Penghasilan yang akan
terutang berdasarkan perkiraan penghasilan yang akan diterima atau
diperoleh dan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan‑bulan yang
tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan
H. Menteri Keuangan menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak bagi :
- Wajib Pajak baru
- Bank, badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, Wajib Pajak masuk
bursa, dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan harus membuat laporan keuangan berkala
- Wajib Pajak orang pribadi pengusaha
tertentu dengan tarif paling tinggi 0,75% (nol koma tujuh puluh lima
persen) dari peredaran bruto.
I. Angsuran PPh Pasal 25 bagi WP Baru, Bank, BUMN, BUMD, dan WP Tertentu
lainnya
Berdasarkan UU PPh pasal 25 ayat
(7) perhitungan PPh pasal 25 bagi WP Baru, Bank, BUMN, BUMD dan WP tertentu
lainnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
- Sesuai dengan SeKep MenKeu No. 522/KMK/04/2000 dan diubah menjadi
SeKep MenKeu no. 84/ KMK/03/2002 besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap
bulan untuk WP baru dihitung sebesar jumlah pajak yang diperoleh dari
penerapan tarif umum atas penghasilan neto sebulan yang disetahunkan,
dibagi 12 (duabelas)
- Angsuran PPh pasal 25 setiap bulan bagi WP bank atau finansial
lease dengan hak opsi adalah sebesar jumlah pajak penghasilan yang
dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba rugi fiskal menurut
laporan keuangan triwulan terakhir yang disetahunkan dikurangi PPh pasal
24 yang dibayar atau terutang diluar negeri untuk tahun pajak yang lalu
dibagi 12
- Angsuran PPh pasal 25 setiap bulan bagi WP bank atau finansial lease
dengan hak opsi yang merupakan WP barumaka besarnya angsuran PPh pasal 25
untuk triwulan pertama adalah jumlah pajak yang dihitung berdasarkan
penerapan tarif umum atas perkiraan laba rugi fiskal triwulan pertama yang
disetahunkan, dibagi 12
- Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi Wajib Pajak
Pengusaha Tertentu ditetapkan sebesar 2% dari jumlah peredaran bruto
setiap bulan
- Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah Wajib Pajak yang melakukan
kegiatan usaha di bidang perdagangan grosir dan atau eceran barang-barang
konsumsi melali tempat usaha/gerai (outlet) yang tersebar di beberapa
lokasi, tidak termasuk kendaraan bermotor dan restoran.
- Besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan bagi BUMN/D dengan nama
dalam bentuk apapun kecuali Wajib Pajak Bank dan Wajib Pajak Sewa Guna
Usaha dengan hak opsi, adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung
berdasarkan penerapan tarif umum atas laba rugi fiskal menurut Rencana
Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) tahun pajak yang bersangkutan yang
telah disahkan oleh Rapat Umum Pemegang saham (RUPS) dikurangi dengan
pemotongan dan pemungutan PPh Pasal 25 dan Pasal 24 yang dibayar atau
terutang di luar negeri pada tahun pajak yang lalu, dibagi 12 (duabelas)
- Apabila RKAP belum disahkan, maka besarnya angsuran PPh Pasal 25
setiap bulan adalah sama dengan angsuran PPh Pasal 25 bulan terakhir tahun
pajak sebelumnya
- Apabila ada sisa kerugian yang masih dapat dikompensasikan, maka dasar
penghitungan PPh Pasal 25 adalah Pajak Penghasilan yang terutang atas PKP
yang dihitung dari penghasilan neto menurut RKAP setelah dikurangi dengan
jumlah sisa kerugian yang belum dikompensasikan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar