Kamis, 06 Agustus 2015

AGAMA ISLAM - Penerapan Syariat Islam Pada Masa Khulafa` Ar-Rasyidin

Tentang : Penerapan Syariat Islam Pada Masa Khulafa` Ar-Rasyidin
DR.H. Lahmuddin Nasution, M.A.

A. Pendahuluan

Khulafaur Rasyidin adalah istilah yang biasanya digunakan untuk menyebutkan
empat orang pimpinan tertinggi umat Islam yang berturut-turut menggantikan
kedudukan Nabi Muhammad Saw sebagai kepala negara, yaitu Abu Bakar (w. 13
H), Umar bin Khattab (w. 23 H), Usman bin Affan (w. 35 H)dan Ali bin Abi
Thalib (w. 40 H). Sebutan tersebut diberikan-kepada mereka, selain
berhubungan dengan sifat rasyad atau rusyud yang diangap selalu menyertai
tindakan dan kebijakan yang mereka lakukan juga dengan ungkapan yang
tersebut di dalam hadis Nabi Saw.

Tampaknya sejak dini para sahabat Nabi Saw telah menganut pandangan yang
sama tentang pentingnya keberadaan seseorang untuk mengemban tugas-tugas dan
tanggung jawab selaku pemimpin umat Islam menggantikan Rasulullah Saw . Dari
catatan sejarah dapat dilihat bahwa pidato pertama Abu Bakar r.a. setelah
wafat Rasul Allah Saw , berisi dua hal yang penting.

Pertama, penegasan bahwa beliau benar-benar telah wafat, hal ini
dikemukakannya untuk menenangkan keragu-raguan sebagian orang, termasuk Umar
bin Khattab r.a. Kedua, pernyataan tentang keharusan adanya pemimpin yang
menangani urusan umat Islam (labudda li hadza al-amr min qa'im yaqumu bihi).
Selanjutanya, dia meminta agar umat Islam berpikir, memberikan pertimbangan
dan mengemukakan pendapat mereka. Secara serempak, orang-orang yang hadir
ketika itu menyahuti dan membenarkan seruan Abu Bakar tersebut dan berjanji
akan memberikan pertimbangan mereka keesokan harinya .

Silang pendapat yang terjadi, khususnya antara kaum Anshar dan Muhajirin,
akhirnya teratasi dengan penunjukan dan pembai'atan Abu Bakar r.a. yang
didasarkan atas kepercayaan yang diberikan oleh Rasul Allah Saw kepadanya
untuk memimpin urusan agama (shalat) mereka, serta hadits al-A'immah min
Quraisy, yang dikemukakan oleh Ma'd bin Adi al-Anshari' dan diakui oleh kaum
Anshar lainnya, di Saqifah bani Sa'idah . Kemudian pada keesokan harinya,
pembaitan umum pun dilakukan di Masjid Nabawi .

Di antara argumentasi lain yang juga dikemukakan pada waktu itu ialah
perkataan Abu Bakar, bahwa orang-orang Arab tidak akan menerima (la tuqirr)
seorang pemimpin kecuali dari kaum Quraisy dan keutamaan Abu Bakar sendiri,
termasuk keberadaannya sebagai teman Rasul Allah Saw di dalam Gua Tsur .
Pada gilirannya, Abu Bakar menyampaikan pidato pelantikannya yang memuat
pernyataan antara lain, bahwa :
* Dia mengakui bahwa dirinya bukanlah orang terbaik.
* Dia harus dibantu hanya selama dirinya berbuat baik dan harus diluruskan
bila dia berbuat tidak baik (in asa'tu).
* Dia akan memberikan hak setiap orang tanpa membedakan yang kuat dengan
yang lemah.
* Ketaatan kepadanya tergantung pada ketaatannya kepada Allah .

Dari keterangan singkat ini dapatlah dilihat secara jelas bahwa menurut para
sahabat, keberadaan khalifah itu tidak lain adalah dimaksudkan sebagai
sarana untuk melaksanakan syariat Allah di muka bumi dan menjamin bahwa
setiap orang akan memperoleh segala sesuatu yang menjadi haknya dengan
sempurna, tanpa aniaya atau kezaliman dari pihak mana pun. Kemudian dari
semua tindakan dan perilaku memerintah yang ditunjukkan oleh Khulafaur
Rasyidin itu, cukup terbaca betapa besarnya keterikatan mereka dengan
tuntutan dan tuntunan syariat Islam yang dibawa oleh Rasul Allah Saw

Setiap umat Islam vang mencintai agamanya dan ingin melaksanakan syariat
Islam dalam kehidupannya sebagai individu, sebagai anggota masyarakat dan
sebagai warga negara, tentulah akan suka becermin kepada pola sikap dan
perilaku para pendahulu dalam menerapkan syariat tersebut. Sepanjang
sejarah, tidak ada cerminan yang lebih baik untuk maksud itu, kecuali
praktek dan pola penerapan syariat yang dicontohkan oleh Nabi Saw dan para
Khulafaur Rasyidin.

Oleh karena itu, wajarlah kalau kita membuka kembali lembaran-lembaran
sejarah Khulafaur Rasyidin itu untuk menemukan model-model pengamalan
syariat yang benar dan yang semestinya kita contoh dari mereka. Untuk itu,
makalah ini akan berupaya mengungkapkan kembali beberapa catatan berkenaan
dengan penerapan syariat di masa Khulafaur Rasyidin sebagai bahan
perbincangan lebih lanjut dalam Mudzakarah yang berbahagia ini.

B. Syariat Islam

Dalam pengertiannya yang luas, syariat adalah sinonim dari ad-din yaitu
keseluruhan ajaran Allah SWT yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw , meliputi
bidang-bidang akidah, akhlak dan hukum-hukum. Akan tetapi, dalam pengertian
yang lebih sempit, syariah selalu digunakan untuk menyebutkan hukum-hukum,
ketentuan, atau aturan-aturan yang menyangkut tindak-tanduk dan perilaku
manusia mukallaf.
Sebagaimana diketahui, pokok-pokok ajaran dan hukum Islam telah tertuang di
dalam kitab suci Al-Qur`an. Ini sesuai dengan dengan pernyataan Allah swt
bahwa kitab tersebut diturunkan sebagai bayan atau tibyan bagi segala
sesuatunya. Atas dasar inilah asy-Syafi'i menyatakan:
" Seseorang dari ahli agama ini perkataannya tidak dapat dipegang (tidak
dapat menjadi rujukan hukum) kecuali ada dalil dari kitab Allah yang
menunjukkan jalan ke arah itu"

Jadi menurut ini, bagi umat Islam, segala aturan tentang segala sesuatu
adalah datang dan bersumber dari serta dipulangkan kepada Al-Qur`an. Tentu
saja, sesuai dengan sifat ijmali yang terdapat pada Al-Qur`an itu, masih
banyak hal yang perlu mendapatkan penjelasan agar dapat diterapkan dalam
peri kehidupan muslim. Untuk itu, Allah SWT memberikan beberapa jalur
penjelasan, yakni melalui As-sunnah atau hadis Rasul Allah Saw atau melalui
ijtihad .

Wafatnya Rasul Allah Saw menimbulkan suatu perubahan yang amat nyata dalam
penataan hukum Islam. Ketika Nabi Saw masih hidup, segala sesuatunya selalu
didasarkan atas petunjuk atau putusan yang diberikannya secara langsung,
baik dengan membacakan ayat-ayat Al-Qur`an maupun dengan mengemukakan
hadits-hadits beliau sendiri. Setelah beliau berpulang ke rahmat Allah,
orang-orang tidak dapat lagi menanyakan atau mengadukan kasus yang mereka
hadapi untuk mendapatkan penyelesaian yang pasti seperti masa sebelumnya.
Dalam banyak kasus, penelusuran terhadap ayat-ayat Al-Qur`an dan As-Sunnah
tidak menghasilkan jawaban hukum yang pasti sehingga untuk mendapatkan
penyelesaiannya diperlukan upaya pencarian lain. Jalan satu-satunya yang
dapat ditempuh ialah melalui ijtihad, dengan memfungsikan penalaran untuk
menemukan petunjuk-petunjuk tersirat atau ma'qul dari Al-Qur`an dan
As-Sunnah.

Tidak diragukan lagi bahwa para Khulafaur Rasyidin itu, tanpa kecuali,
adalah mujtahid-mujtahid yang mampu melakukan penelusuran maupun penalaran
dalam upaya pencarian hukum bagi setiap kasus yang mereka hadapi . Akan
tetapi, tercatat bahwa mereka hanya melakukan ijtihad dengan frekuensi yang
relatif terbatas, sesuai dengan tuntutan kebutuhan zamannya masing-masing.

Aneka kontak budaya yang terjadi dalam pergaulan luas antarsuku dan bangsa,
sebagai akibat dari ekspansi yang gemilang ke timur dan ke barat, membuat
masyarakat semakin dinamis dan selanjutnya membawa tantangan melalui beragam
persoalan yang harus dicarikan ketetapan hukumnya. Hal ini turut berperan
memicu perkembangan ijtihad dan akhirnya memaksa para mujtahid mengambil
sikap proaktif, mempersiapkan jawaban-jawaban bagi masalah-masalah yang
mungkin dihadapi .

Keberadaan ijtihad adalah sesuatu yang niscaya, sebab, sebagai mana
dikatakan oleh Iman al-Haramain al-Juwaini, nash-nash Al-Qur`an dan
As-Sunnah yang jumlahnya terbatas dan sudah tetap (mahsurah, maqsurah) itu,
tidak akan mungkin dapat meliput semua persoalan yang terus menerus timbul
di dalam kehidupan manusia sehingga jumlahnya tidak terbatas (la nihayah
laha) . Oleh karena itu, sebutan syariat mencakup semua hukum Islam, baik
yang diperolah melalui nash, maupun melalui ijtihad (fikih).

Namun demikian, berdasarkan segi keberadaan materi-materinya, syariat dapat
dibagi kepada dua kelompok, yakni yang bersifat qath'i dan yang bersifat
zhanni. Yang pertama adalah ketentuan-ketentuan hukum yang diperoleh
langsung dari nash Al-Qur`an atau As-Sunnah melalui penunjukan yang bersifat
qath'i al subut wa al-dilalah, sedangkan yang kedua adalah yang diperoleh
dari kedua sumber tersebut melalui penunjukan yang bersifat zhanni, pada
tsubut atau dilalah-nya.
Sesuai dengan pengertian yang dikemukakan di atas, aturan-aturan hukum
syariat itu meliputi segala bentuk, tindakan mukallaf dalam semua lapangan
kehidupannya. Perbuatan, sikap, perkataan bahkan kata hatinya pun tidak ada
yang tidak dijangkau oleh ketentuan hukum syariat. Sesuai dengan pernyataan
ayat-ayat Al-Qur`an, semua petunjuk dalam tatanan syariat itu hanyalah
diturunkan sebagai rahmat Allah bagi seluruh manusia.

Terlepas dari perbincangan mereka yang cukup tajam pada tataran kalam,
tampaknya para ulama sepakat bahwa penataan hukum-hukum (tasyri' al-ahkam)
selalu ditujukan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia . Atas dasar itulah,
pertimbangan kemaslahatan selalu terbawa dalam ijthad yang mereka lakukan,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Tentu saja, kemaslahatan duniawi
dan ukhrawi yang dimaksudkan tersebut tidak akan tercapai kecuali melalui
penerapan syariat secara utuh (kaffah) dalam semua aspek kehidupan.

Dalam hal penerapan syariat itu tentulah tidak ada yang lebih baik daripada
apa yang dipraktekkan oleh Rasul Allah Saw dan kemudian diikuti secara ketat
oleh para sahabat beliau, terutama pada masa-masa Khulafaur Rasyidin.

C. Kewajiban Penerapan Syariat dalam Kehidupan Umat Islam

Penerapan syariat Islam sudah merupakan kewajiban atas umat Islam sendiri,
sebagaimana ditegaskan oleh ayat-ayat Al-Qur`an, seperti:
" Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara
keseluruhannya" (Al-Baqarah 208)
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,
supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan
kepadamu" (An-Nisaa' 105)

"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allahdan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka" (Al-Maa-idah
49)
"Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir"(Al-Maa-idah 44)
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.
Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah
sesat, sesat yang nyata" (Al-Ahzab 36)

"Sesungguhnya jawaban orang-orang mu'min, bila mereka dipanggil kepada Allah
dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah
ucapan." "Kami mendengar dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang
beruntung" (An-Nuur 51)
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu
berikandan mereka menerima dengan sepenuhnya" (An-Nisaa' 65)
Adalah jelas bahwa ayat-ayat di atas bersama sejumlah ayat lainnya
mewajibkan penerapan hukum Allah dalam kehidupan muslim, tanpa memberikan
peluang untuk penyimpangan darinya.

Dalam pembicaraan tentang imamah atau khalifah, para ulama selalu
menyertakan keterangan bahwa tujuan utamanya adalah untuk menjamin
terlaksananya semua aturan dan tertegakkannya hukum-hukum Allah di dalam
masyarakat.

Imam al-Haramain mengatakan:
"Imamah adalah kepemimpinan sempurna dan kekuasaan umum mencakup urusan
khusus dan umum dalam urusan din dan dunia. Tugasnya menjaga wilayah,
memelihara rakyat dan menegakkan da'wah dengan hujjah dan pedang. Menolak
ketakutan dan penganiyaaan serta menolong orang-orang yang tertindas dari
kaum zhalim. Mengambil hak-hak dari orang yang menolak menunaikannya dan
menunaikannya kepada yang berhak"

Saifuddin al-Amidi, mengemukakan bahwa kita mengetahui benar tujuan dari
semua perintah dan larangan pada segala bidangnya, seperti hudud, qisas,
peraturan-peraturan muammalat, munakahat, jihad, penegakan syi'ar Islam
melalui shalat Jum'at dan hari raya, adalah untuk menciptakan kemaslahatan
makhluk dalam kehidupan mereka di dunia dan akhirat dan itu semua tidak akan
tercapai tanpa imam syar'i yang dipatuhi. Imam itulah tempat mereka
mengadukan segala perkara dan yang menjadi sandaran (ya'tamidun 'alaih)
dalam semua urusan mereka .

Dengan mengutip ayat 58 dan 59 dari surat an-Nisaa', yang masing-masing
berisi perintah menunaikan amanah dan mematuhi ulil-amri, Ibnu Taimiyah
mengatakan bahwa himpunan dari ada' al-amanat ila ahliha dan al-hukm bi
al-adl itulah yang merupakan sendi utama as-siyasah al-adilah dan al-wilayah
as-salihah .
Menurut catatan sejarah, setiap amir atau amil yang diangkat oleh Rasul
Allah Saw senantiasa langsung bertanggung jawab sebagai naib beliau dalam
memimpin pelaksanaan shalat, penegakan hududdan tuntutan syariat lainnya.
Ketika Mu'az diutus ke Yaman, Nabi Saw mengatakan kepadanya, "Sesungguhnya
yang paling penting bagiku dari segala urusanmu adalah shalat."

Imam al-Haramain mengemukakan bahwa tugas dan tanggung jawab seorang imam
meliputi banyak hal, baik urusan agama maupun urusan duniawi. Menyangkut
tanggung jawab imam dalam masalah keagamaan, dia mengatakan:
"Kesimpulannya, ialah bertujuan menunaikan kaidah Islam secara sukarela atau
terpaksa....Adapun pandangannya terhadap masalah agama, maka terbagi
menjadi; memandang dari sudut prinsip agama dan memandang dari sudut cabang
agama"

Dalam pelaksanaan tanggung jawabnya terhadap ushuluddin (prinsip agama), ia
berkewajiban memelihara akidah yang benar, menolak segala bentuk bid'ah,
serta menyelenggaraan dakwah terhadap orang-orang kafir, mengajak mereka
kepada Islam dengan cara-cara yang diperintahkan dan diizinkan oleh syariat
.
Adapun mengenai fungsi syariat, menurut beliau wewenang Imam, pada dasarnya
hanyalah terkait dengan masalah-masalah yang secara nyata merupakan syi'ar
Islam, seperti penegakan shalat Jum'at, shalat 'iddan pelaksanaan ibadah
haji. Hal-hal penting seperti itu tidak boleh luput dari perhatian Imam,
sebab pada acara-acara tersebut selalu terbuka peluang bagi terjadinya
berbagai penyimpangan akibat banyaknya orang yang terlibat, sehingga perlu
ditertibkan. Pada sisi lain, seorang Imam tidak seharusnya mencampuri
masalah-masalah yang bersifat individu, sepanjang hal itu tidak disampaikan
kepadanya.
Di samping itu Imam juga berkewajiban memelihara ketertiban umum di dalam
negeridan ini meliputi,

1) penyelesaian segala sengketa yang terjadi melalui badan peradilan,

2) penegakan al-'uqubat, mencakup hudud, qishasdan ta'zir terhadap setiap
kejahatan dan pelanggaran hukum, serta

3) membela kepentingan dan memenuhi hajat orang-orang lemah

D. Penerapan Syariat Islam pada Masa Khulafaur Rasyidin

1. Perkembangan Materi Syariat Islam

Materi syariat yang diterapkan pada masa Khulafaur Rasyidin tidak lain
merupakan berbagai ketentuan hukum yang terdapat di dalam Al-Qur`an dan
As-Sunnah. Setiap kali menghadapi suatu persoalan, mereka senantiasa lebih
dahulu mencari hukumnya pada kedua sumber tersebut, melalui periwayatan
terbatas, sesuai dengan kebutuhan. Kemudian, walaupun dalam beberapa kasus
tampak adanya upaya-upaya tertentu, dimana para khalifah meminta syahadah
atas periwayatan seseorang, pada hakikatnya mereka sepakat menerima dan
mengamalkan hadits-hadits yang diriwayatkan secara ahad .

Bila upaya mencari rujukan dari Al-Qur`an dan As-Sunnah tidak berhasil,
mereka pun sepakat pula bahwa upaya pencarian berikutnya adalah ijthad,
dengan melakukan qiyas. Menurut Abu Ishaq, di kalangan sahabat tidak ada
orang yang menafikan atau menolak penggunaan qiyas . Di samping itu, ada
juga yang melakukan ijtihad dengan menggunakan metode atau kaidah-kaidah
ijtihad lainnya, seperti istihsan, bara'ah al-ashliyah, saddad azari'ahdan
pertimbangan al-masalih al-mursalah .

Secara umum, para sahabat hanya melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah
yang benar-benar telah terjadi dalam kenyataan dan mereka masih enggan
memberikan jawaban atau fatwa tentang kasus-kasus pengandaian. Namun
demikian, seiring dengan berjalannya waktu, ijtihad yang mereka lakukan
telah memberikan sumbangan yang signifikan dalam perkembangan materi syariat
Islam.

2. Pola Umum Penerapan Syariat pada Masa Khulafaur Rasyidin

Pada dasarnya, apa yang dilakukan oleh para khulafaur Rasyidin adalah
melanjutkan penerapan syariat seperti apa yang telah berjalan sejak masa
Nabi Saw Segala ketentuan yang telah berlaku pada masa hidup beliau
dipandang sebagai sesuatu yang mengikat dan tidak dapat diubah . Ketika
berhadapan dengan Fatimah binti Rasul Allah Saw , Abu Bakar r.a.
berkata:"Demi Allah saya tidak akan membiarkan masalah, dimana saya melihat
Rasulullah Saw melakukannya, niscaya aku melakukannya juga".

Berkenaan dengan keengganan sebagian orang untuk membayar zakat, Abu Bakar
ra. berkata:"Demi Allah jika mereka menolak pada satu ikatan yang mereka
tunaikan pada masa Rasulullah Saw , maka aku akan perangi orang yang
menolaknya. Sesungguhnya zakat adalah kewajiban atas harta, demi Allah akan
aku perangi orang yang memisahkan antara shalat dan zakat".

Sepanjang mereka menemukan suatu ketentuan dari Rasul Allah Saw , maka untuk
kasus-kasus terkait mereka selalu menerapkan ketentuan tersebut sebagai mana
adanya, tanpa mengubah atau menambahnya dengan pengembangan sendiri .

Jika tidak menemukan ketentuan yang jelas dari Rasul Allah Saw , maka
penetapan suatu hukum mereka dasarkan atas hasil ijtihad, baik secara
jama'i, maupun fardi. Sekalipun tidak menganggap hasil ijtihadnya benar
secara mutlak, mereka tetap menerapkan hukum-hukum ijtihadi itu dengan
tegas, sepanjang hal itu menyangkut bidang-bidang yang menjadi wewenang dan
tanggung jawab mereka.

Adapun dalam masalah-masalah individual yang tidak meminta keterlibatan
pemerintah, para Khulafaur Rasyidin hanyalah menempatkan diri sebagai
mujtahid yang sejajar dengan para mujtahid lainnya dari kalangan sahabat.
Oleh karena itu, sejarah mencatat bahwa mereka mewariskan sejumlah perbedaan
pendapat. Dalam hal ini, tiap-tiap orang bebas mengamalkan pendapatnya
sendiri atau mengikuti salah satu pendapat yang ada tanpa terikat atau
terpengaruh oleh pendapat yang lain .

Kemudian, jika setelah memperoleh kesimpulan hukum melalui ijtihad, mereka
menemukan ketentuan lain dari sunnah Rasul Allah Saw , mereka selalu
meninggalkan pendapatnyadan kembali pada ketentuan sunnah itu. Hal seperti
itu juga berlaku bagi kasus-kasus yang telah diputuskan berdasarkan hasil
ijtihad . Suatu putusan atas perkara tertentu tidaklah harus mempengaruhi
putusan terhadap kasus lain yang mirip dengannya.

3. Contoh-contoh Penerapan Syariat Islam pada Masa Khulafaur Rasyidin

Sebagaimana dikemukakan di atas, dalam masalah-masalah yang sifatnya
individual Khulafaur Rasyidin senantiasa memberikan kebebasan bagi tiap-tiap
orang untuk beramal dan memberikan fatwa sesuai dengan hasil ijhhadnya
sendiri. Oleh karena itu, keragaman tidak dipandang sebagai sesuatu yang
salah dalam pengamalan syariat di masa ini. Misalnya,
* Umar bin Khattab ra berpendapat bahwa iddah orang hamil yang kematian
suami adalah melahirkan, sedangkan Ali bin Abi Talib mengatakan iddahnya
adalah masa yang terpanjang antara melahirkan dan 4 bulan 10 hari.
* Abu Bakar ra berpendapat bahwa para saudara tidak berhak mendapatkan
warisan apabila mereka bersama-sama dengan kakek, tetapi Umar ra. dan Zaid
bin Tsabit ra. memberi mereka bagian bersama-sama dengan kakek.

Untuk kasus-kasus yang melibatkan campur tangan penguasa, Khulafaur Rasyidin
selalu bertindak dengan tegas, mengeluarkan perintah, menetapkan keputusan
hukum, ataupun menggariskan peraturan-peratutan, yang mereka pandang sebagai
hal yang paling benar dan paling baik.
Misalnya :
* Abu Bakar ra. memerintahkan penulisan Al-Qur`an di dalam mushaf dan pada
gilirannya Usman bin Affan ra. memerintahkan penggandaannya dengan penulisan
yang seragam.
* Umar bin Khattab ra. mengatur pelaksanaan shalat tarawih berjamaah dengan
menunjuk Ubay bin Ka'ab ra. sebagai imam.
* Usman bin Affan ra. memerintahkan agar adzan dikumandangkan dua kali
menjelang shalat Jum'at.
* Umar bin Khattab ra. memerintahkan penarikan zakat dari hasil-hasil panen
buah zaitun di Syam.
* Umar bin Khattab ra. menerima zakat madu yang dikutip dan dibawa oleh
Abdullah bin Rab ra.
* Umar ibnul Khattab ra. memimpin pelaksanaan ibadah haji setiap tahun,
sepuluh kali berturut-turut selama pemerintahannya .
* Abu Bakar memutuskan tidak memberikan warisan yang dituntut oleh Fatimah
r.a. dan Abbas dari harta peringgalan Rasulullah Saw .
* Abu Bakar memberangkatkan pasukan Usamah bin Zaid, sekalipun ada sebagian
sahabat yang menilai pemberangkatan tersebut kurang bijaksana.
* Abu Bakar memerintahkan pasukannya memerangi kelompok-kelompok yang
membangkang dalam hal pembayaran zakat, sekalipun pada mulanya banyak
sahabat yang keberatan, sebelum mereka melihat alasan yang mendasari
peperangan tersebut.
* Ali bin Abi Thalib dengan tegar memerangi para pembangkang yarig menentang
pemerintahannya yang sah, seperti pada Perang al-Jamal, Siffindan penumpasan
Kaum Khawarij.
* Abu Bakar ra. membagi harta secara merata dengan mengabaikan berbagai
faktor kelebihan yang dimiliki oleh orang-orang tertentu, tetapi kemudian
Umar ibnul Khattab ra. membuat ketentuan lain dengan mempertimbangan
keutamaan tiap-tiap orang.
* Abu Bakar dan Umar menghukum ra. pencuri pada pencurian yang ketiga dengan
memotong tangan kirinya, sedangkan Ali bin Abi Thalib ra. tidak memotong
tangan kiri pencuri seperti itu .
* Abu Bakar, Umar, Utsman ra. masing-masing menjatuhkan hukuman atas pelaku
zina dengan menderanya dan kemudian mengasingkannya .
* Abu Bakar ra. meminta pendapat para sahabat tentang temuan Khalid ibnul
Walid ra, seorang laki-laki yang 'dinikahi' dan diperlakukan orang seperti
perempuan, Ali ra. mengusulkan agar orang tersebut dibakardan Abu Bakar ra.
pun mengeluarkan perintah untuk membakanya. Hukuman yang sama juga
diterapkan oleh Ali bin Abi Thalib ra. dan Abdullah ibnul Zubair ra. ketika
keduanya berkuasa .
* Abu Bakar menghukum peminum khamar dengan 40 kali dera, tetapi Umar ibnul
Khattab ra menjatuhkan hukuman cambuk 80 kali .
* Umar bin Khattab ra. membuat sebuah rumah, yang dibelinya di Mekah menjadi
rumah tahanan dan Ali bin Abi Talib ra. juga membuat sebuah penjara .
* Abu Bakar ra. menunjuk Umar ibnul Khattab ra. untuk menggantikannya
sebagai khalifah.
* Umar ibnul Khattab ra. menunjuk enam orang sahabat terbaik untuk
bermusyawarah dan menetapkan khalifah berikutnya.

Dalam pada itu, untuk menunjang kelancaran pelaksanaan syariat secara umum,
para Khulafaur Rasyidin senantiasa melakukan upaya-upaya perbaikan dalam
berbagai bidang, seperti penataan administrasi, pembentukan diwan-diwan,
pembentukan berbagai lembaga sesuai dengan tuntutan kebutuhan yang mereka
hadapi. Menyangkut hal itu, tampaknya para sahabat selalu bersikap terbuka
dan siap menerima aneka perubahan, perbaikandan pengembangan. Para Khulafaur
Rasyidin, dengan selalu bermusyarah dan meminta pendapat sahabat lainnya
senantiasa mencari bentuk-bentuk pengelolaan terbaik dan tanpa ragu-ragu
mereka menerapkannya, demi kebajikan umat Islam.

E. Penutup

Dari uraian singkat di atas, kiranya dapatlah ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut :
* Penerapan syariat Islam adalah tujuan utama dari pembentukan khilafah
dalam Islam dan tugas tersebut telah dilaksanakan oleh para khulafaur
Rasyidin di segala bidang sesuai dengan pedoman yang diberikan oleh
Rasulullah Saw .
* Dalam penerapan syariat Islam itu, para khulafaur Rasyidin senantiasa
mengikuti hukum-hukum syara' yang telah dinyatakan secara tegas di dalam
nas-nas Al-Qur`an dan As-Sunnah.
* Berkenaan dengan kasus-kasus yang hukumnya tidak ditegaskan di dalam kedua
sumber tersebut mereka melakukan upaya-upaya ijtihad dalam arti yang luas,
baik secara jama'i maupun secara fardi.
* Untuk masalah-masalah yang memerlukan campur tangan pemerintah, setiap
putusan, peraturan, ataupun. Perintah yang dikeluarkan oleh khalifah
mempunyai kekuatan mengikat dan wajib dipatuhi, sekalipun hal itu berasal
dari hasil ijtihad jama'i atau fardi.
* Mengenai urusan-urusan yang bersifat individual, tidak ada keharusan
mengikufi pendapat khalifah atau orang tertentu lainnya. Setiap orang bebas
mengeluarkan atau mengamalkan pendapat yang dianggapnya paling benar.

Akhirnya, kami sadar bahwa penerapan syariat Islam yang ada pada masa
khulafaur Rasyidin itu tidaklah mungkin diungkapkan secara lengkap dalam
makalah seperti ini. Mudah-mudahan saja sajian sederhana ini memadai untuk
dijadikan sebagai bahan awal perbincangan para ulama di dalam mudzakarah
ini. Kami percaya, semakin besar kepedulian yang kita berikan terhadap
syariat, akan semakin besar pulalah kepedulian asy-Syari' kepada kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar